“MASYARAKAT yang mana? Ini ada
profesor-profesor. Ini apa bukan masyarakat juga? Ini adalah masyarakat
intelektual, bukan masyarakat jalanan itu,” kata seorang praktisi
hukum dalam sebuah acara yang hadirkan para lawyer di
salah satu stasiun televisi nasional pada 20 September 2011.
Pernyataan
di atas diberikan oleh salah seorang praktisi hukum ketika ia dimintai pendapat
mengenai perlunya penghapusan remisi bagi para koruptor. Ia dan sebagian
hadirin berpendapat bahwa remisi adalah hak bagi seluruh narapidana tanpa
kecuali, sehingga remisi tak dapat dihapuskan.
Seperti
dilansir yusril.ihzamahendra.com, Yusril Ihza Mahendra dalam konteks yang sama
juga mengatakan bahwa presiden jangan mau dengar desakan orang jalanan. Menurutnya,
“Pemerintah kalau
bisa didikte orang jalanan bisa celaka negara ini. Pemerintah harus mempunyai
sikap jangan tunduk pada suara-suara LSM atau mereka yang meneriakan ini.”
Saya
tak hendak menyoal remisi. Saya lebih tertarik diskusikan tentang suara rakyat.
Benarkah suara rakyat, atau dalam istilah mereka adalah masyarakat jalanan, tak
layak untuk didengar?
Menurut
Wertheim, kaum elite memang sering kali abai terhadap rakyat biasa karena
mereka menganggap rakyat biasa sebagai orang yang tak perlu dianggap penting
dan tak tahu apa-apa. Wertheim menyebut proses ini sebagai sosiologi
ketidaktahuan (sociology
of ignorance).
Pendapat
Wertheim itu sesuai dengan gambaran realitas yang saya sampaikan di atas. Suara
dan pendapat rakyat secara umum seolah hanya didengar saat penyelenggaraan
pilpres, pilkada, pemekaran wilayah, dll. Adagium vox populi vox dei,
suara rakyat adalah suara Tuhan, hanya rajin dikutip politikus saat pemilihan
umum saja. Saat itu, apa pun pilihan rakyat, tak ada yang mengganggu dan menggugat,
karena itu adalah juga kehendak Tuhan. Setelah semua usai, suara rakyat kembali
dianggap sepi. Padahal, pemberi suara dalam pemilihan umum pun tentu tak hanya
masyarakat intelektual yang seolah paham segala, tetapi juga rakyat biasa.
Menurut
saya, untuk menepis anggapan negatif terhadap rakyat biasa, ada beberapa hal
yang perlu kita lakukan bersama. Pertama, kita, khususnya media, perlu lebih
aktif memberitakan rakyat biasa dalam bingkai positif. Selama ini pemberitaan
terkait isu yang dihadapi rakyat biasa belum sebanding dengan pemberitaan
terkait isu-isu yang dimainkan oleh para tokoh politik dan selebritas.
Pemberitaan rakyat biasa lebih sering berupa kasus perkosaan, tawuran,
penganiayaan, dan keterbelakangan. Padahal, realitas menunjukkan bahwa banyak
praktik dan pengalaman baik yang dilakukan oleh masyarakat. Misalnya, usaha
bersama yang dilakukan oleh kelompok perempuan dan partisipasi masyarakat dalam
pembangunan. Dengan pemberitaan positif itu diharapkan pandangan kita terhadap
masyarakat akar rumput dapat berubah positif.
Kita,
warga biasa, berhak bersuara dan berpendapat. Namun, kita juga perlu belajar
menyampaikan segala sesuatu, termasuk kritik untuk pemerintah, dengan baik dan
benar. Sebenarnya, pernyataan para tokoh yang saya sampaikan di awal tulisan
ini tak mutlak salah. Di bidang hukum, mestinya suara rakyat memang tak serta
merta menjadi hukum, menjadi suara Tuhan, tanpa didukung dasar yang kuat. Dalam
hal ini, pernyataan bahwa negara akan kacau jika serta merta mengikuti tuntutan
sebagian golongan mungkin ada benarnya. Namun, kita sebaiknya tak
mendiskreditkan suatu golongan hanya untuk membenarkan pendapat kita.
Elite
pun harus belajar menjadi pendengar yang baik bagi pendapat siapa pun, termasuk
rakyat biasa itu. Meskipun pendapat mereka salah, tak elok kita mencela mereka.
Sering terbukti bahwa rakyat biasa lebih memiliki nurani yang bersih dan
pikiran yang jernih daripada elite di negeri ini.
Itulah
pendapat saya sebagai warga negara biasa yang sama sekali tak termasuk golongan
masyarakat intelektual dalam bidang politik dan hukum. Apakah saya juga harus
dipertanyakan seperti yang saya ceritakan di atas: saya ini termasuk masyarakat
yang mana?•fgs
Tidak ada komentar:
Posting Komentar