SAYA memiliki seorang kawan yang oleh
masyarakat dipercaya menjadi seorang Kader Pemberdayaan Masyarakat Desa (KPMD).
Dia meyakini bahwa profesi sebagai kader pemberdaya tak dapat dilakukan oleh
sembarang orang. Karena, profesi tersebut menuntut kesungguhan, kesabaran, dan
keikhlasan yang jauh lebih besar dibandingkan dengan profesi lainnya. Baginya,
seorang kader pemberdaya tak hanya harus menguasai beberapa ilmu, tetapi juga
harus rela membagi ilmu itu demi kebaikan semua. Sampai dengan tahap ini, saya
kira semua masih okey atau
bahkan boleh dikata: luar biasa!
Namun akhir-akhir ini, beberapa kali saya
mendengar cerita dari kawan yang lain bahwa kawan saya yang kader pemberdaya
itu enggan memfasilitasi masyarakat. Jika dipaksa dan didampingi oleh
kawan-kawannya, barulah dia mau pergi berkegiatan, kunjungi kelompok perempuan
misalnya.
Kemarin, kawan saya itu menyampaikan kepada
saya penyebabnya. Dia merasa bahwa dia selalu tak sempurna dalam melaksanakan
tugasnya. Ada saja yang kurang. Hal itu menjadikannya tak lagi percaya diri.
Untung saja saya teringat kisah gentong
retak yang pernah disampaikan dalam pelatihan peningkatan kapasitas fasilitator
kecamatan pada 26 Juli 2010. Kisah gentong retak itu lalu saya ceritakan kepada
kawan saya. Berikut kisahnya.
Pada zaman dahulu, hiduplah seorang pemikul
air yang mempunyai dua buah gentong besar. Oleh Si Pemikul Air, kedua gentong
itu digantungkan pada sebatang bambu untuk dipikulnya. Si Pemikul Air menyadari
bahwa salah satu gentong itu retak. Namun, ia tak menggantinya. Ia tetap
menggunakannya untuk memikul air ke rumah majikannya.
Gentong utuh selalu dapat bekerja dengan
baik dan membawa segentong penuh air pada akhir perjalanan panjang dari sungai
hingga rumah majikan si pemikul, sedangkan gentong yang retak hanya berhasil
membawa pulang setengah gentong air.
Hal ini terus terjadi selama dua tahun.
Dari hari ke hari, Si Pemikul Air hanya dapat mengantarkan satu setengah
gentong air ke rumah majikannya. Tentu, Gentong Utuh merasa bangga
atas keberhasilannya, sedangkan Gentong Retak merasa malu dan sedih atas kekurangannya.
Tak tahan atas situasi itu, Gentong Retak
pun meminta maaf kepada Si Pemikul Air.
“Wahai
Pemikul Air, maafkan kekuranganku selama ini,” kata Gentong Retak.
“Mengapa
kamu harus meminta maaf, Gentong Retak?” tanya Si Pemikul Air
Gentong Retak mulai meneteskan air mata.
Terbata-bata dia menjawab, “Gara-gara
tubuhku retak, selama dua tahun ini aku hanya dapat membawakan setengah gentong
air. Air yang kubawa menetes di sepanjang jalan menuju rumah majikanmu.”
Si Pemikul Air tersenyum. Dengan sabar, ia
berkata, “Nanti, saat kita kembali ke
rumah Pak Majikan, perhatikanlah bunga-bunga yang
indah di sepanjang jalan.“
Benar! Di sepanjang jalan menuju rumah Pak
Majikan, Gentong Retak melihat bunga-bunga indah yang hangat oleh sinar
matahari. Sejenak, hati Gentong Retak terhibur. Tetapi, ketika tiba di rumah
Pak Majikan, Gentong Rusak kembali sedih karena lagi-lagi air yang dia bawa
tinggal separuh. Sisanya menetes di sepanjang jalan. Gentong Retak meminta maaf
lagi kepada Si Pemikul Air.
Si Pemikul Air bertanya, “Apakah tadi kauperhatikan bahwa bunga-bunga
yang indah itu hanya tumbuh di sisi yang kaulewati, sedangkan di sisi yang
dilewati oleh Gentong Utuh justru gersang?”
Gentong Retak mengangguk.
Si Pemikul Air bertanya lagi, ”Kau tahu sebabnya?”
Gentong Retak menggeleng.
”Itu
terjadi karena dari awal aku mengetahui kekuranganmu, tetapi aku
memanfaatkannya. Aku menanam biji bunga di sepanjang sisi jalan yang kaulewati.
Setiap hari, tanpa sadar, ketika kita berjalan dari sungai sampai rumah Pak
Majikan, kau telah menyirami bunga-bunga dengan air yang menetes itu. Hasilnya,
selama dua tahun ini aku dapat menghiasi meja makan Pak Majikan dengan
bunga-bunga yang indah. Tanpa kau menjadi dirimu sendiri, Pak Majikan tak dapat
menikmati keindahan itu dalam rumahnya,” kata Si Pemikul Air.
Ada senyuman di wajah Gentong Retak.
Tampaknya dia mulai mengerti.
Hikmah yang dapat kita petik dari cerita di
atas adalah kekurangsempurnaan yang melekat pada diri kita adalah sebuah
keniscayaan. Kita semua, tanpa kecuali, mempunyai kekurangan. Ya, dapat kita
katakan bahwa kita adalah gentong-gentong retak itu. Maka, jangan takut
memiliki kekurangan. Akuilah, terimalah, dan kemudian percayalah bahwa
dengannya kita justru dapat mencipta keindahan. Bukankah dalam memahami
kekurangan kita, sejatinya kita juga menemukan kekuatan kita sendiri?
Semoga kawan saya yang kader pemberdaya,
yang merupakan gentong retak seperti juga saya, memahami ini. Semoga.•fgs
Tidak ada komentar:
Posting Komentar