BEBERAPA
hari yang lalu, saya berkunjung ke rumah seorang kawan, sebutlah namanya Pak
Kompak. Dalam perbincangan kami pada sore itu, kawan saya, Pak Kompak,
bercerita bahwa beberapa kawan kami telah mengkhianati prinsip program. Mereka
telah melanggar kode etik dan profesionalisme kerja.
“Lho, bagaimana bisa kauanggap begitu?”
tanya saya.
“Tak bisa dianggap begitu bagaimana? Si Anu
telah meminta uang kepada pelaku di desa untuk biaya pembuatan desain dan RAB.
Padahal, bukankah itu sudah tugas Si Anu?” jawab Pak Kompak dengan
berapi-api, “Si Itu juga sama saja.
Dia bahkan tega meminta uang kepada pelaku di desa untuk pembuatan buku kas.
Tak tanggung-tanggung, 500 ribu! Padahal, bukankah sudah menjadi tanggung
jawabnya untuk mengajari masyarakat membuat dan mengisi buku kas? Ini kok malah
dijadikan obyekan.”
“Ah, tak semua kawan kita begitu. Ada juga
yang masih menjunjung idealisme,” komentar saya.
Pak
Kompak serta merta membantah, “Berapa
kawan kita yang masih bersikap seperti yang kausangka itu? Mungkin hanya Mas
Lanjut itu saja.”
Memang,
sebagian orang menganggap perilaku yang kami bicarakan sore itu sebagai hal
yang kaprah. Anggapan semacam itu terbentuk berabad-abad yang lalu.
Kini,
salah satu penyebab anggapan semacam itu masih lestari adalah kurangnya
pemahaman kepada masyarakat tentang hak mereka dalam pembangunan. Di dalam
program penanggulangan kemiskinan (pronangkis), salah satu hak masyarakat dan
pemerintahan lokal adalah mendapatkan pendampingan fasilitator. Peran
pendampingan ditujukan bagi penguatan atau peningkatan kapasitas masyarakat dan
pemerintahan lokal dalam mengelola pembangunan secara mandiri di wilayahnya.
Fasilitator ditugaskan oleh negara untuk melaksanakan tugas pokok dan fungsi
(tupoksi) serta menjunjung tinggi kode etik fasilitator.
Namun,
beberapa fasilitator kurang amanah dalam mengemban tugas mulia itu. Mereka
sengaja tak memahamkan beberapa hal kepada masyarakat, misalnya tentang hak
masyarakat dan kewajiban fasilitator. Masyarakat dibiarkan terseret dalam arus
bimbang. Lebih lanjut, untuk melanggengkan praktik itu, masyarakat dibuat
bergantung kepada fasilitator. Semua hal diatur dan dibuat oleh fasilitator.
Akibatnya, ketika dilakukan audit, masyarakat tak dapat jelaskan pekerjaannya.
Fasilitator kemudian tampil sebagai orang yang seolah aktif membela masyarakat. Tentu
saja, masyarakat menjadi sungkan jika tak sisihkan sebagian dana untuk memberi
tanda terima kasih kepada fasilitator.
Semua
itu tak terjadi jika fasilitator memiliki integritas yang baik. Integritas
berarti mutu, sifat, atau keadaan yang menunjukkan kesatuan yang utuh sehingga memiliki
potensi dan kemampuan yang memancarkan kewibawaan. Integritas berarti
kejujuran; kesatuan antara ucapan dan hati. Integritas berarti amanah terhadap
segala beban di atas pundak.
Menimbang
bahwa integritas menjadi sesuatu yang langka ditemukan, mungkin benar kata
Schiller, die
Entgötterung der Natur, kehidupan kini telah ditinggalkan oleh para dewa.
Kekinian tak sisakan apa pun, kecuali akal instrumental. Kepekaan terhadap Yang
Maha sirna, berganti kepentingan untuk puaskan diri sendiri. Tak penting lagi
berempati.
Ya,
mungkin benar demikian. Tapi, marilah kita berdiam sejenak. Vox populi, vox dei! Akankah
suara rakyat, dan karenanya merupakan suara Tuhan, tak lagi membuat kita gentar
dan bertanya: apa yang telah kita perbuat untuk mereka?•fgs
Tidak ada komentar:
Posting Komentar