PUKUL
14.13 WIB tadi, seorang kawan saya mengirimkan pesan singkat. Isinya:
Selamat datang dalam
penerbangan Ramadhan Air tujuan Bandara
Internasional Idul Fitri dengan nomor penerbangan 1432 H ... . Mari tegakkan
sandaran kursi iman. Bila terjadi guncangan, pasanglah selalu sabuk zikir,
tahajud & sedekah jariah. ... bersama pramugari Rahmah, Maghfirah, dan
Jannah. ... Selamat menunaikan ibadah puasa. Mohon maaf lahir dan batin.
Sejak
beberapa hari yang lalu, suasana bulan Ramadhan telah tampak di mana-mana.
Salah satunya seperti di awal cerita saya tadi: pesan singkat bertema puasa.
Ya, bulan Ramadhan memang dipandang berbeda dengan bulan-bulan lainnya. Simbol
dan atribut keislaman hadir di berbagai ranah. Bulan ini kembali menghadirkan
kegairahan bagi umat Islam untuk menekuni ibadah ritual. Di bulan ini pula,
selain menahan diri dari makan dan minum, banyak orang berlomba melaksanakan
karitas.
Bagi
saya, ritual adalah sekadar media. Semacam tubuh bagi jiwa. Dalam paparan Abd
A’la, seorang guru besar dalam sejarah pemikiran Islam IAIN Sunan Ampel, puasa
perlu dimaknai sebagai “ibadah (yang) akan
mengantarkan seseorang ke proses pencerahan”. Mestinya, keberibadahan
memperkuat spiritualitas, berdampak positif bagi penajaman nurani dan
pengembangan sikap perilaku luhur yang bermanfaat bagi diri sendiri, sesama,
dan kehidupan.
Puasa
dalam bingkai pencerahan seperti itu tentu tak dapat dicapai dengan sekadar
menahan diri dari lapar, dahaga, hubungan suami istri, dan hal-hal lain yang
membatalkan puasa. Puasa harus dimaknai sebagai upaya mewujudkan kemurnian,
mewujudkan nilai-nilai Islam, dalam perilaku keseharian. Tak hanya dalam
Ramadhan, tetapi juga bulan-bulan setelahnya.
Dalam
rangka mempersiapkan hidup pada bulan-bulan setelah Ramadhan itulah, umat Islam
harus berlatih keras selama Ramadhan. Mereka harus menghindarkan diri dari
segala perilaku tercela: hasut, iri, dengki, manipulatif, dan sebagainya.
Mereka harus berupaya muhasabah al-nafs,
berrefleksi diri terhadap perilaku selama ini.
Bagi
kita yang telah memantapkan diri untuk menggiatkan pemberdayaan sebagai upaya
penanggulangan kemiskinan, kita harus terus bertanya dan bertanya ulang: “Sudahkah kita
melakukan tugas pokok dan fungsi kita sebagai pemberdaya?”. Sudahkah hati
dan perilaku kita murni, lurus, dan selaras dengan keinginan wong cilik?
Sudahkah kita mengupayakan ubah tangis rakyat yang papa itu dengan senyuman?
Sudahkah ... Ah, rupanya kita masih harus banyak bertanya, masih harus banyak
belajar mulat
sarira hangrasa wani, belajar berani menggugat diri sendiri.
Selamat
menunaikan puasa, Kawan. Semoga shaum pada
Ramadhan kali ini menjadikan kita sebagai pribadi yang mulia, bukan saja
menurut perhitungan manusia, tetapi juga menurut Beliau Yang Maha Membuat
Perhitungan.•fgs
*Tulisan
ini terinspirasi oleh artikel Abd A’la, “Tiada Hari Tanpa Berpuasa”, dalam Kompas, edisi 29
Juli 2011.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar