SEIRING
laju pembangunan, perubahan sosial di dalam struktur masyarakat adalah sebuah
niscaya. Masyarakat yang tak mampu menyesuaikan diri dengan perubahan tersebut
menjadi tersingkir dari sistem yang berubah. Alih-alih tuntas memecahkannya,
kini wajah Indonesia justru diwarnai peningkatan jumlah masyarakat yang papa.
Memang, data resmi pemerintah yang dirilis oleh BPS tampaknya membuktikan lain.
Pada 2007-2010, ekonomi nasional bertumbuh dan jumlah masyarakat miskin turun.
Namun, realitas kekinian masyarakat di perdesaan menampakkan wajah kemiskinan
dalam wujudnya yang paling telanjang.
Tinggal
diamkah pemerintah melihat itu? Tidak! Pemerintah telah banyak merealisasikan
program penanggulangan kemiskinan. Berdasarkan skenario pemerintah,
penanggulangan kemiskinan terbagi atas tiga cluster, yaitu:
(1) cluster bantuan
dan perlindungan sosial, (2) cluster pemberdayaan
masyarakat, dan (3) cluster pemberdayaan
usaha mikro dan kecil. Untuk cluster kedua,
pemerintah mencanangkan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri
Perdesaan sejak 2007.
PNPM
Mandiri Perdesaan mengupayakan tercapainya kesejahteraan dan kemandirian
masyarakat miskin di perdesaan. Masyarakat dianggap sejahtera ketika kebutuhan
dasarnya terpenuhi dan masyarakat dianggap mandiri ketika masyarakat: (1) mampu
mengorganisir diri untuk memobilisasi sumber daya yang ada di lingkungannya,
(2) mampu mengakses sumber daya di luar lingkungannya, dan (3) mampu mengelola
segenap sumber daya tersebut untuk mengatasi kemiskinan.
Upaya
PNPM Mandiri Perdesaan tersebut dapat dicapai dengan cara pendekatan
multidisiplin yang berdimensi pemberdayaan. Tentu saja, pemberdayaan yang
tepat, yang memadukan tiga aspek pemberdayaan, yaitu penyadaran, peningkatan
kapasitas, dan pendayagunaan. Lalu, bagaimana potret pelaksanaan PNPM Mandiri
Perdesaan? Benarkah seindah konsepnya?
Saya
tertarik dengan isi artikel yang dimuat di Kompas pada
14 Januari 2011. Di dalam artikel berjudul Kelas Menangah, Baru
Sebatas Jumlah itu disebutkan bahwa PNPM adalah “program pemerintah
... yang membagi-bagi uang pembangunan ke desa”. Hal inilah yang menjadi
salah satu sebab kemunculan kelas menengah-bawah. Sama halnya dengan pemilihan
langsung kepala daerah dan presiden, PNPM memberikan keuntungan cukup besar
bagi segelintir orang yang terlibat langsung di dalamnya. Pendapatan yang
mereka peroleh selama program berlangsung cukup membawa mereka untuk menduduki
kelas baru dalam struktur sosial masyarakat, yaitu kelas menangah. Namun tentu
saja, oleh sebab sifatnya yang serta merta dan sementara, kelas menangah
ini belum berkualitas. Mereka sejatinya “naik kelas” hanya dalam angka
kuantitatif, karena dalam jangka sementara mereka telah mampu membiayai
kehidupan mereka minimal 2-4 dollar AS per kapita per hari atau sekira
Rp540.000-Rp1.100.000 per orang per bulan. Artinya, mereka rawan tergelincir
jadi miskin kembali ketika program atau keterlibatan mereka di dalam program
berakhir.
Kenyataan
itu menjelaskan tak adanya korelasi antara pertambahan jumlah warga kelas
menengah dan penurunan sikap apolitis, sentimen, perilaku kekerasan, dan
fundamentalisme. Kelas menengah tengah dan atas biasanya melawan sikap-sikap
tersebut, karena bagi mereka sikap-sikap tersebut akan membahayakan posisi
ekonomi dan sosial mereka.
Harus
kita akui bahwa hal itu merupakan kenyataan. Di sebagian wilayah penerima dana
Bantuan Langsung Masyarakat (BLM) PNPM Mandiri Perdesaan, pelaku cenderung
mengarahkan pilihan masyarakat kepada usulan-usulan pembangunan prasarana
(pembangunan jalan, jembatan, gedung, dll.). Tak peduli lagi meski prasarana
tersebut sebenarnya kurang bermanfaat terutama bagi masyarakat miskin. Sebagian
pelaku hanya mengutamakan keuntungan pribadi yang dapat diperoleh dari dana
sisa pembangunan prasarana. Kepentingan masyarakat miskin dianggap sepi. Prinsip
dan kode etik program dianggap mimpi. Namun, akankah kondisi ini terus kita
biarkan?
Pelaku
PNPM dan segenap masyarakat harus menginsafi sepenuhnya pentingnya membangun
desa dengan menumpukannya pada pembangunan manusia. Demikianlah salah satu
prinsip atau nilai dasar pemberdayaan yang seharusnya menjadi landasan dalam
setiap keputusan maupun tindakan yang diambil oleh masyarakat. Berdasarkan
prinsip tersebut, hendaknya masyarakat lebih memilih kegiatan yang berdampak
langsung terhadap upaya pembangunan manusia daripada pembangunan fisik semata.
Kemiskinan
di tengah masyarat kita adalah persoalan yang kompleks. Kemiskinan tersebut tak
dapat hanya diatasi dengan pembangunan sarana dan prasarana yang selama ini
digandrungi, tetapi juga harus dipupus sedikit demi sedikit dengan pembangunan
manusia yang berbasis pemberdayaan. Pemberdayaan berarti mengupayakan
partisipasi masyarakat untuk menemukenali permasalahan sendiri, mengatasi
dengan program kerja yang sesuai, dan mengatur penyelenggaraan untuk keberlajutannya.
Demi keberlanjutan itu, kita perlu mengutamakan usulan-usulan yang
berkelanjutan. Kita perlu usulan-usulan yang mampu menumbuhkan karakter enterpreneurship di
dalam jiwa masyarakat. Kita masih perlu banyak usulan yang mampu menempa mental
kebangsaan, kebersamaan, kejujuran, keuletan, dan kemandirian masyarakat. Kita
perlu usulan-usulan yang mampu memangkas habis karakter-karakter negatif bangsa
Indonesia sebagaimana pernah disebutkan oleh Mochtar Lubis pada 16 April 1977
dan Tony Doludea pada 16 Maret 2007.
Kita
semai kesadaran tersebut ke dalam sanubari masyarakat. Kita sadarkan mereka
bahwa yang terpenting justru mengupayakan pendanaan atas usulan-usulan yang
berdampak langsung pada kebutuhan dasar masyarakat berkelanjutan. Usulan
pendidikan bukan berarti prasarananya yang harus terus dibangun, tetapi
beasiswanya, mutu pendidiknya, mutu bacaannya, dan seterusnya. Terus utamakan
usulan-usulan yang berdampak pada peningkatan kapasitas dan pendayagunaan,
misalnya pelatihan kewirausahaan. Ini akan selaras dengan pemberian pinjaman
modal dari Simpan Pinjam khusus Perempuan (SPP). Akhirnya pinjaman tak hanya
untuk konsumsi, tetapi benar-benar manfaat bagai pertumbuhan ekonomi di
perdesaan.
Terakhir,
marilah dengan hikmat kita tanamkan Indonesia Raya dalam sanubari kita: “Bangunlah jiwanya,
bangunlah badannya, untuk Indonesia raya.”•fgs
Tidak ada komentar:
Posting Komentar