ABS
yang dimaksud dalam hal ini bukan sistem pengereman canggih yang diterapkan di
kendaraan bermotor (Anti-lock
Braking System), melainkan jargon yang populer di era Orde Baru yaitu Asal Bapak Senang.
Walaupun, dengan setengah memaksakan diri, kedua istilah tersebut memiliki
kesamaan tertentu, yaitu dalam hal kenyamanan penggunanya.
Sebenarnya,
istilah ABS atau asal bapak senang selalu
mengalami transformasi, bergantung pada siapa presidennya. Pada jaman Soekarno, asal bapak senang adalah
nama sebuah band yang suka menghibur di istana presiden. Pada jaman Soeharto, asal bapak senang merupakan
sebuah istilah yang digunakan untuk menyebut orang-orang yang memberikan
laporan hanya untuk menyenangkan hati pimpinan walaupun tak sesuai dengan
kenyataannya. Pada jaman Habibie, ABS adalah singkatan dari Asli Bugis
Sulawesi. Pada jaman Megawati, ABS adalah singkatan dari Anaknya Bapak
Soekarno. Terakhir jaman SBY yang sebelum pemilihan legislatif melontarkan isu
adanya kampanye ABS sebagai Asal Bukan Susilo.
Khusus
ABS sebagai laporan palsu pada jaman Soeharto, sebenarnya ABS juga bermakna
sebagai kepalsuan secara umum yang dilakukan untuk menyenangkan dan memeroleh
simpati atau penilaian baik dari atasan. Tentu, ABS erat kaitannya dengan
perilaku: menjilat atau mencari muka. Namun kini, apakah ABS sudah mati?
Perilaku
Asal Bapak Senang, selanjutnya cukup ditulis ABS, lahir dari rahim karakter
manusia Indonesia. Manusia Indonesia oleh beberapa ahli dinilai memiliki
karakter yang dapat menghambat pembangunan.
Penggiat
filsafat kebudayaan Tony Doludea di Jakarta pada 16 Maret 2007 sore mengatakan
bahwa karakter manusia Indonesia adalah mudah iri hati, picik, dan tidak
menyadari solidaritas untuk tujuan bersama. Mereka juga suka memperoleh sesuatu
secara instan, mengabaikan proses dan kerja keras, percaya terhadap klenik, dan
tidak dapat menerima kekalahan. Tony mengatakan, ”Karakter itu ada
dalam diri seluruh manusia Indonesia, mulai dari politisi, akademisi,
intelektual, pemimpin, tokoh agama, hingga orang awam dan rakyat miskin.”
Lebih lanjut, ia menegaskan bahwa mental manusia Indonesia seperti di ataslah
yang membuat masyarakat tidak lagi percaya kepada kebenaran, keadilan, dan
kebaikan. Kondisi tersebut membuat keadilan dan kesejahteraan sulit diwujudkan
di Indonesia.
Pandangan
serupa telah dikemukakan oleh Mochtar Lubis pada 30 tahun sebelumnya. Dalam
pidato berjudul Manusia
Indonesia yang ia sampaikan di Taman Ismail Marzuki Jakarta pada 16
April 1977, Lubis menyebutkan ada enam ciri karakter manusia Indonesia yaitu:
(1) hipokrit atau munafik, (2) segan bertanggung-jawab, (3) berjiwa feodal, (4)
percaya takhayul, (5) artistik, dan (6) watak lemah, karakter kurang kuat.
Yang
dimaksud oleh Lubis tentang karakter manusia Indonesia di atas adalah manusia
Indonesia sering berpura-pura; lain di muka, lain di belakang. Mereka sering
menyembunyikan kebenaran atas yang dirasakannya, dipikirkannya, dan
dikehendakinya.
Manusia
Indonesia kerap melontarkan kata-kata “bukan saya” sebagai wujud enggan dan
segan bertanggung jawab. Misalnya, jika terjadi suatu kesalahan atau kegagalan
pada suatu lembaga, maka atasan akan berkata ”Bukan Saya” lalu
menggeser kesalahan ke bawahan. Begitu seterusnya hingga jabatan terbawah.
Ketika sampai ke jabatan yang terbawah bukan berarti rasa enggan bertanggung
jawab itu tidak ada. Di tingkat bawah, kata ”bukan saya” akan berganti menjadi ”Saya hanya
melaksanakan perintah dari atasan!”.
Karakter
feodal yang dimaksud oleh Lubis di antaranya adalah sangat tidak suka mendengar
kritik. Karena itulah, bawahan biasanya tidak memiliki sikap yang jelas.
Keyakinan mereka mudah goyah. Mereka mau mengubah keyakinannya agar dapat ”bertahan”.
Kegoyahan watak serupa ini merupakan upaya untuk menyenangkan atasan dan
menyelamatkan diri.
Seluruh
karakter negatif seperti yang diungkapkan oleh Tony dan Lubis itulah yang
menjadikan ABS abadi. Oleh sebab itu, ABS tetap ada selama karakter negatif
tersebut tak dikikis habis.
Apa
kaitan antara ABS dan pemberdayaan? Harus kita akui bahwa perilaku ABS dan
karakter-karakter yang disebutkan oleh Tony dan Lubis kerap kita lakukan. Kita
lupa bahwa segala yang kita lakukan tak hanya berdampak bagi diri kita, tetapi
juga masyarakat luas.
Lalu,
bagaimana menyikapinya? Karakter ABS akan menggerogoti kebaikan untuk bangsa
ini yang telah kita bangun bersama. Pemberdayaan masyarakat pasti terdampak.
Oleh sebab itu, kita harus bertekad bulat dan bergotong royong untuk
meniadakannya. Meskipun pada kenyataannya hal ini tak mudah dilakukan. Karena,
saat ini realitas menunjukkan bahwa ABS masih menjadi pilihan strategis bagi
sebagian orang. Sepenggal kata Kahlil Gibran: “Dulu kita tunduk pada raja dan
patuh pada kaisar. Sekarang kita hanya tunduk pada kebenaran dan patuh pada
cinta,” tak lagi jadi semboyan. Sekali lagi, sebagian dari kita lebih memilih
tunduk dan patuh pada kata bapak.•fgs
Kepustakaan
Lubis,
Mochtar. Manusia Indonesia (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008)
Sumber
Internet
http://agorsiloku.wordpress.com/2007/03/17/karakter-manusia-indonesia-picik-dan-tak-mau-kalah/
(Akses: 17 Juli 2011 pukul 07.14)
http://ledianalanis.multiply.com/reviews/item/12
(Akses: 17 Juli 2011 pukul 07.19)
http://marinyo.blogdetik.com/asal-bapak-senang/
(Akses: 14 Juli 2011 pukul 16.29 WIB)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar