Judul: Anwar Tohari Mencari Mati (Sebuah Novel)
“TAPI aku benar-benar tak bisa menggerakkan
lidah,” keluhnya.
Ia wartawan. Mustofa Abdul Wahab,
namanya. Mulutnya disumpal oleh Hendro Siswanto. Dosen. Kritikus sastra. Anak Hanggono;
tentara—adik Sinder Harjo—yang terbunuh saat bertarung dengan Anwar Tohari.
Wartawan itu telat insaf bahwa Anwar
Tohari adalah Warto Kemplung. Ia teperdaya oleh surat-surat. Oleh tulisan.
Surat dikarang dan diketik manual oleh Hendro Siswanto yang menyaru sebagai Imam
Widjaja. Sahabat Anwar Tohari.
Surat itu kebohongan yang meyakinkan.
Ia sekelas hoaks yang berseliweran.
Wartawan itu diringkus. “Aku teriak
sekuat tenaga, namun telingaku hanya mendengar suara ah-uh-ah-uh yang terbungkam,” ujarnya, “kedua tanganku menempel di
punggung dan menyatu satu sama lain.” (Hlm. 152)
Ia disiksa di warung blandongan. Beruntung.
Sebelum mati ditembak, Warto menyelamatkannya.
Kisah itu di novel Anwar Tohari Mencari Mati. Sekuel
Mendapati kekerasan terhadap wartawan
di novel, pembaca lekas ingat kekerasan yang dialami oleh wartawan di kenyataan.
Terbaru, jurnalis Suara Pakar
dihalangi dalam mewawancara Wali Kota Medan Bobby Nasution. Sebelumnya, 27
Maret 2021, jurnalis Tempo mengalami penyekapan
dan penganiayaan ketika meliput kasus korupsi.
Berdasarkan data advokasi AJI, sejak
2006 kasus kekerasan terhadap wartawan sudah terjadi 848 kali. Jumlah terbanyak
terjadi pada 2020, yaitu 84 kasus. Meningkat tajam dari tahun sebelumnya, 53
kasus. Jumlah kasus kekerasan yang tergolong tinggi terjadi pada 2016 dengan 81
kasus.
Masih berdasarkan data yang sama, pada
periode November 2014 hingga Oktober 2019, kekerasan terhadap jurnalis mencapai
308 kasus. Meningkat 34,5% dibandingkan dengan periode November 2009 hingga
Oktober 2014. Sedangkan, pada November 2019 hingga April 2021, satu setengah
tahun terakhir, sudah tercatat 99 kasus. Ada upaya pembungkaman?
Di novel, pembungkaman wartawan
bersimbol mulut disumpal dan tangan diikat. Mulut itu untuk menyuarakan
kebenaran. Tangan itu simbol kerja. Oh, ingat kerja, ingat presiden dan
menteri-menteri berbaju putih dengan lengan baju digulung hingga siku. Siap
kerja, katanya.
Dan tangan juga berarti perjuangan.
Perlawanan. Maka, gerakan rakyat juga mahasiswa bersimbol tangan mengepal.
Pantas, pertarungan Warto dengan Hanggono
dan kemudian Hendro penuh adegan mencegkeram dan memuntir lengan. Menghancurkan
tangan. Tangan tak bermanfaat itu tangan
tuman, kata Warto. (Hlm. 177)
Seharusnya, tangan orang-orang loji dapat
digunakan untuk menulis. Mereka kaya. Mereka bersekolah tinggi. Kontras dengan anak-anak
blandong yang miskin. Mereka hanya bisa pakai tangannya untuk pegang kampak dan
potong kayu.
Itu soal kesadaran, pertentangan, dan
perjuangan kelas. Novel berkisah seputar itu. Antara blandong dan sinder.
Antara borjuis dan proletar. Antara kelompok yang berkuasa dan yang dikuasai. Di
teori Marx, pertentangan keduanya dipicu oleh kepentingan ekonomi yang secara
objektif berlawanan satu sama lain.
Blandong biasa merasakan sakit pinggang
akibat harus mengggotong jati gelondongan. Kaki mereka ngilu akibat harus
berjalan jauh untuk mencuri kayu yang mereka tanam sendiri. (Hlm. 125) Namun
toh mereka tetap miskin.
Setelah hutan makin habis, para
blandong lebih banyak menganggur. Mereka terpaksa “ngobyek macam-macam, mesti
ke mana-mana”. (Hlm. 11)
Sinder dan keturunan loji lainnya berbeda
nasib. Berbeda pula jalan pikirnya. Kepentingan mereka adalah mempertahankan
status quo. Bagi mereka, blandong itu masalah. Blandong menjarah hutan. Seturut
itu, “Warung-warung blandongan membludak.
Bukan cuma jual kopi atau gimbal tempe atau tuwak seperti sebelumnya, tapi
menyediakan karaoke, bahkan pelacur.” Lalu, “Jati habis. Salah mereka
sendiri.” (Hlm. 160)
Oh, jangan kira blandong itu tetiba
ada di masa republik. Ia ada sejak Abad XVII dan mencapai puncaknya pada Abad XIX
saat pemerintah Hindia Belanda menerapkan blandongdiensten.
Rakyat dikerahkan untuk penebangan, pengangkutan, pembelahan, dan penanaman
hutan kembali terutama di daerah pedalaman dan pantai utara Pulau Jawa.
Jadi, blandong pada masa lalu adalah buruh
penebang kayu hutan yang legal. Mereka adalah rakyat jelata yang tinggal di
sekitar hutan dan dipaksa menjadi buruh penebang kayu jati di tengah hutan.
Kerja rodi.
Sekarang, setelah VOC dan
perusahaan-perusahaan kehutanan swasta bertransformasi menjadi Perhutani, blandong
juga mengalami perubahan makna. Ia diartikan sebagai orang yang melakukan
penebangan kayu liar (illegal logging).
Pencuri kayu hutan. Persamaannya keduanya: mereka miskin.
Kemiskinan mengakibatkan pertentangan. Menuntut perjuangan. Di novel, pertentangan diwujudkan adu jotos dan balas dendam. Pembaca gagal menemu adegan percintaan. Dewasa ini, di negara berhaluan kerja, kerja, kerja, tak ada waktu untuk bercinta. Kira-kira begitu.●fgs
Tidak ada komentar:
Posting Komentar