Senin, 03 Mei 2021

Membaca Blandong di Sekuel Novel [Resensi "Anwar Tohari Mencari Mati" - Mahfud Ikhwan]


 
Data Buku
Judul: Anwar Tohari Mencari Mati (Sebuah Novel)
Pengarang: Mahfud Ikhwan
Penerbit: Marjin Kiri, Tangerang Selatan
Cetakan: I, Februari 2021
Ukuran: 14 × 20,3 cm
Tebal: vi + 207 hlm.
ISBN: 978-602-0788-12-8

 

“TAPI aku benar-benar tak bisa menggerakkan lidah,” keluhnya.

 

Ia wartawan. Mustofa Abdul Wahab, namanya. Mulutnya disumpal oleh Hendro Siswanto. Dosen. Kritikus sastra. Anak Hanggono; tentara—adik Sinder Harjo—yang terbunuh saat bertarung dengan Anwar Tohari.

 

Wartawan itu telat insaf bahwa Anwar Tohari adalah Warto Kemplung. Ia teperdaya oleh surat-surat. Oleh tulisan. Surat dikarang dan diketik manual oleh Hendro Siswanto yang menyaru sebagai Imam Widjaja. Sahabat Anwar Tohari.

 

Surat itu kebohongan yang meyakinkan. Ia sekelas hoaks yang berseliweran.

 

Wartawan itu diringkus. “Aku teriak sekuat tenaga, namun telingaku hanya mendengar suara ah-uh-ah-uh yang terbungkam,” ujarnya, “kedua tanganku menempel di punggung dan menyatu satu sama lain.” (Hlm. 152)

 

Ia disiksa di warung blandongan. Beruntung. Sebelum mati ditembak, Warto menyelamatkannya.

 

Kisah itu di novel Anwar Tohari Mencari Mati. Sekuel Dawuk: KIsah Kelabu dari Rumbuk Randu.

 

Mendapati kekerasan terhadap wartawan di novel, pembaca lekas ingat kekerasan yang dialami oleh wartawan di kenyataan. Terbaru, jurnalis Suara Pakar dihalangi dalam mewawancara Wali Kota Medan Bobby Nasution. Sebelumnya, 27 Maret 2021, jurnalis Tempo mengalami penyekapan dan penganiayaan ketika meliput kasus korupsi.

 

Berdasarkan data advokasi AJI, sejak 2006 kasus kekerasan terhadap wartawan sudah terjadi 848 kali. Jumlah terbanyak terjadi pada 2020, yaitu 84 kasus. Meningkat tajam dari tahun sebelumnya, 53 kasus. Jumlah kasus kekerasan yang tergolong tinggi terjadi pada 2016 dengan 81 kasus.

 

Masih berdasarkan data yang sama, pada periode November 2014 hingga Oktober 2019, kekerasan terhadap jurnalis mencapai 308 kasus. Meningkat 34,5% dibandingkan dengan periode November 2009 hingga Oktober 2014. Sedangkan, pada November 2019 hingga April 2021, satu setengah tahun terakhir, sudah tercatat 99 kasus. Ada upaya pembungkaman?

 

Di novel, pembungkaman wartawan bersimbol mulut disumpal dan tangan diikat. Mulut itu untuk menyuarakan kebenaran. Tangan itu simbol kerja. Oh, ingat kerja, ingat presiden dan menteri-menteri berbaju putih dengan lengan baju digulung hingga siku. Siap kerja, katanya.

 

Dan tangan juga berarti perjuangan. Perlawanan. Maka, gerakan rakyat juga mahasiswa bersimbol tangan mengepal.

 

Pantas, pertarungan Warto dengan Hanggono dan kemudian Hendro penuh adegan mencegkeram dan memuntir lengan. Menghancurkan tangan. Tangan tak bermanfaat itu tangan tuman, kata Warto. (Hlm. 177)

 

Seharusnya, tangan orang-orang loji dapat digunakan untuk menulis. Mereka kaya. Mereka bersekolah tinggi. Kontras dengan anak-anak blandong yang miskin. Mereka hanya bisa pakai tangannya untuk pegang kampak dan potong kayu.

 

Itu soal kesadaran, pertentangan, dan perjuangan kelas. Novel berkisah seputar itu. Antara blandong dan sinder. Antara borjuis dan proletar. Antara kelompok yang berkuasa dan yang dikuasai. Di teori Marx, pertentangan keduanya dipicu oleh kepentingan ekonomi yang secara objektif berlawanan satu sama lain.

 

Blandong biasa merasakan sakit pinggang akibat harus mengggotong jati gelondongan. Kaki mereka ngilu akibat harus berjalan jauh untuk mencuri kayu yang mereka tanam sendiri. (Hlm. 125) Namun toh mereka tetap miskin.

 

Setelah hutan makin habis, para blandong lebih banyak menganggur. Mereka terpaksa “ngobyek macam-macam, mesti ke mana-mana”. (Hlm. 11)

 

Sinder dan keturunan loji lainnya berbeda nasib. Berbeda pula jalan pikirnya. Kepentingan mereka adalah mempertahankan status quo. Bagi mereka, blandong itu masalah. Blandong menjarah hutan. Seturut itu, “Warung-warung blandongan membludak. Bukan cuma jual kopi atau gimbal tempe atau tuwak seperti sebelumnya, tapi menyediakan karaoke, bahkan pelacur.” Lalu, “Jati habis. Salah mereka sendiri.” (Hlm. 160)

 

Oh, jangan kira blandong itu tetiba ada di masa republik. Ia ada sejak Abad XVII dan mencapai puncaknya pada Abad XIX saat pemerintah Hindia Belanda menerapkan blandongdiensten. Rakyat dikerahkan untuk penebangan, pengangkutan, pembelahan, dan penanaman hutan kembali terutama di daerah pedalaman dan pantai utara Pulau Jawa.

 

Jadi, blandong pada masa lalu adalah buruh penebang kayu hutan yang legal. Mereka adalah rakyat jelata yang tinggal di sekitar hutan dan dipaksa menjadi buruh penebang kayu jati di tengah hutan. Kerja rodi.

 

Sekarang, setelah VOC dan perusahaan-perusahaan kehutanan swasta bertransformasi menjadi Perhutani, blandong juga mengalami perubahan makna. Ia diartikan sebagai orang yang melakukan penebangan kayu liar (illegal logging). Pencuri kayu hutan. Persamaannya keduanya: mereka miskin.

 

Kemiskinan mengakibatkan pertentangan. Menuntut perjuangan. Di novel, pertentangan diwujudkan adu jotos dan balas dendam. Pembaca gagal menemu adegan percintaan. Dewasa ini, di negara berhaluan kerja, kerja, kerja, tak ada waktu untuk bercinta. Kira-kira begitu.●fgs



 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar