Rabu, 26 Agustus 2020

Identitas Kolonial-Pribumi dalam “Roman Picisan” [Resensi "Setan van Oyot" - Djokolelono]


 

Data Buku

Judul: Setan van Oyot: Sebuah Roman Picisan

Pengarang: Djokolelono

Penerbit: Tangerang Selatan, Marjin Kiri

Cetakan: I, Maret 2019

Ukuran: 14 × 20,3 cm

Tebal: x + 293 hlm.

ISBN: 978-979-1260-85-5

 

  

CANTIK itu luka. Judul novel Eka Kurniawan pas dengan nasib perempuan cantik di perkebunan era kolonial. Paras cantik mendatangkan nasib buruk bagi si empunya. Dilecehkan. Dirudapaksa. Tuan mereka pelakunya. Belanda. Tak peduli meski si empunya sudah bersuami. Itu kisah di Deli.

Di Wlingi, di novel Setan van Oyot, nasib serupa dialami Tinah. Anak Kromo. Penjaga Kamar Bola. Tempat tuan-tuan mencari hiburan. Main biliar. Minum-minum. Tinah yang sedang belajar menari bersama sebelas perempuan lain, dilecehkan oleh Direktur Pabrik Gula (PG). Cornelis, namanya. Disentuh tanpa persetujuan. Puncaknya, dia nyaris diperkosa. 

O, cantik juga bisa berarti berkah. Cantik itu modal. Tubuh indah itu investasi. Dengan itu, ada perempuan dirubung sinyo dan tuan Belanda. Digilir secara sukarela. Lalu, menjadi nyai. Gundik. 

Itu Kesi. Tokoh lain di novel. Perempuan cantik, anak buruh PG Kedawoeng di Grati, Pasuruan. Miskin. Cantik dan tubuh indah mengantarkannya menjadi nyai. 

Begitulah sejarah mencatat. Reggie Bay di Nyai dan Pergundikan di Hindia Belanda menulis, umumnya nyai memang berasal dari keluarga pribumi miskin di Jawa. Kemiskinan itu mengimpit. Kemiskinan itu menghilangkan banyak pilihan hidup.

Pembaca lekas ingat Nyai Ontosoroh di tetralogi Pram. Nyai yang canggih mengelola perusahaan, gemar membaca, pandai menghitung situasi, serta kritis terhadap sistem hukum kolonial yang diskriminatif. Nyai Ontosoroh menjadi nyai bukan karena kemauannya. Lain dengan Kesi. 

Kesi itu sekretaris. Dia adalah teman kerja dan teman tidur Kepala Kantor Pos Wlingi Daan van Dijk. 

Kesi tak peduli van Dijk lebih tua dari bapaknya. Dia “tak punya perasaan apa-apa. Hanya melayani, dan dilayani, segala kebutuhannya.” (Hlm. 45) Seperti kata Ning Sih—perempuan cantik lain di Setan van Oyot—kepadanya, “Tidak perlu muda, tidak perlu tampan. Dapat uang banyak, dan tinggalkan!” (Hlm. 207) 

Itu tujuannya. Kesi tak ingin miskin lagi. Dia sadar, “Kemudaannya kelak akan layu. Keayuannya kelak akan pudar. Tetapi, dengan menyandang nama van Dijk, gaya hidupnya akan masih bisa bertahan. Dipertahankan. Dikembangkan. Dinikmati.” (Hlm. 80) Dia bertekad menjadi Nyonya van Dijk. 

Menjadi gundik atau bahkan menikahi orang Belanda pada galibnya memang bermotif ekonomi. Sedikit yang tersebab cinta. Maka, perkawinan boleh dibilang hanya sebuah unit kapitalistik. 

Namun, dalam hal Kesi dan Ning Sih, perempuan tak melulu objek. Seksual atau lainnya. Perempuan itu subjek. Bebas berkehendak. Merdeka menentu pilihan. 

Atas pilihan itu, rakyat kebanyakan menaruh kekaguman dan penghormatan. Mereka berbahasa Jawa halus terhadap Kesi. Bahasa yang sama dengan ketika mereka berbicara dengan seorang priayi. Jadi, mereka anggap Kesi pribumi yang berhasil meniti tangga hingga sekelas dengan sinyo dan tuan Belanda. Lalu, orang menyebutnya sebagai Zus Kesi. Sebutan Belanda. Seperti mereka menyebut tuan Belanda sebagai meneer. 

Golongan priayi bersikap lain. Ada cemooh. Juga pelecehan. Seperti ditunjukkan Ndoro Sinder. Raden Mas Hadiprayitno, namanya. Juga Ardjo Santosa. Anggota Volksraad sekaligus detektif partikelir. Cemburu? 

Yang pasti, itu laras dengan tulisan Frances Gouda di Dutch Cultures Overseas. Menurutnya, priayi Jawa merendahkan gundik dengan sebutan perempuan hina, kotor, tak sesuai aturan kesopanan Jawa, digerakkan nafsu birahi, tak bermoral, menjual kehormatan demi kekayaan, pelacur, dan lain-lain. 

Kolonial sama belaka. Pelacuran dan pergundikan dianggap sejenis. Tak lebih dari relasi seksual yang secara ekonomis memang jauh lebih murah dan efisien daripada mendatangkan istri atau perempuan Eropa. 

Atasnya, derajat perempuan pribumi dianggap lebih rendah daripada Eropa. Pelbagai panggilan merendahkan diberikan orang Belanda kepada para nyai. Inlandsche huishoudster (pembantu rumah tangga), meubelaire (perabot), inventarrisstuk (barang inventaris), dan lain-lain. Oleh sebab itu, lelaki Belanda yang hidup bersama nyai tak akan muncul di beranda depan, tempat yang kelihatan oleh umum, sebagai pasangan. Mereka diam-diam. 

Di novel, sikap itu ditunjukkan oleh van Dijk kepada Kesi. Panggilan di domain privat macam schaat dan liefje segera berganti dengan zus ketika berada di domain publik. Bahkan hanya menyebut nama. (Hlm. 49, 180, 184-185) 

Drastis. Serba-otomatis. 

Nyai malah tak serba-otomatis dikawin. Betapa pun seorang nyai ingin. Di novel, pembaca menemu ikhtiar Zus Kesi. Sungguh menarik. Bagaimana pun dia mempelajari alam pikir dan budaya serta senang hidup secara Belanda, tetapi dia tak dapat menghilangkan ciri khas pribumi dalam dirinya. Dia percaya hal-hal mistik dan perdukunan sebagai alternatif solusi. 

Padahal, di novel, orang Belanda itu rasional. Solusi-solusi mesti logis dan terukur. Mistik dianggap bagian kepercayaan tolol. (Hlm. 109) 

Nah, ingat: alternatif solusi. Bukan satu-satunya. Ada strategi lain yang ditempuh Kesi. Jadi, semacam perpaduan. Di novel, pembaca tahu perpaduan lain. Budaya Indis. Ia meliputi banyak hal. Makan-minum, mode, gaya hidup, arsitektur, dan lain-lain. Pergundikan memang dinilai sebagai salah satu penyebabnya. 

Soal makan-minum, misalnya. Di novel, pembaca menemu rijstaffel. Short ribs rica-rica. (Hlm. 63) Dimasak oleh koki. Bukan main. Eh, pembaca boleh geli mendapati pribumi coba makan roti. Dan tak kenyang! 

Keju dan susu menemani makan roti. Susu tak melulu adegan coba-coba asupan bergizi. Susu meluas ke soal guyonan dan tindak seksual. 

Di halaman 35. “Ayalah schaaat... ngambil susu saja lama... ini tuan haus... susumu saja juga boleh... .” Itu rengekan van Dijk kepada Kesi. 

Lalu, di halaman 55. “’Aaah, ora perlu repot kaya ngono, Mbok-e, aku ora kesusu kok... ora kesusu-susu,’ Ndoro Sinder memberi penekanan kata ‘kesusu’ sambil melirik dada Kesi yang seakan berontak di bawah baju drilnya.” 

Guyonan saru ada di novel. Dipraktikkan oleh tuan Belanda dan priayi. Guyonan boleh disangsikan nyata di era kolonial. 

Peristiwa nyata di masa kolonial malah tak banyak dikisah dalam novel. Pergerakan menentang kolonialisme, misalnya. 

Padahal, organisasi komunis makin kuat saat itu. Gerakan terjadi di mana-mana. Sumatera hingga Jawa. Terutama di perkebunan dan pabrik-pabrik. Pemerintah Hindia-Belanda menghadapi masa genting. Di novel, buruh perkebunan malah gembira menerima angpau. 

Meski begitu, novel tetap menarik dibaca. Tak hanya soal pergundikan, novel juga berkisah tentang perilaku serakah, korupsi, perjudian, perkawinan sebagai strategi mobilitas sosial, praktik stratifikasi sosial, dan lain-lain.

Penokohannya beragam. Lintas etnis. Antar-lapisan sosial. Tokoh-tokoh berkelindan di isu setan van oyot. Penunggu beringin tua yang dipercaya ada.

Jadi, novel memotret gejala dan fakta sosial budaya di Hindia Belanda awal Abad XX. Ia mendorong pembaca bermenung, betapa hal-hal yang terjadi kemudian hanyalah pengulangan dari kelampauan. Kira-kira begitu.•fgs

 

 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar