Senin, 25 Mei 2020

Menikmati Bualan [Resensi Novel “Dawuk” – Mahfud Ikhwan]



Data Buku

Judul: Dawuk: KIsah Kelabu dari Rumbuk Randu

Pengarang: Mahfud Ikhwan

Penerbit: Marjin Kiri, Tangerang Selatan

Cetakan: II, November 2017

Ukuran: 14 × 20,3 cm

Tebal: vi + 182 hlm.

ISBN: 978-979-1260-69-5

 

 

KALIAN tahu, apakah kebahagiaan itu?” (Hlm. 57) Telak. Pembaca penasaran pilih melanjutkan baca.

Di Jawa, pembaca ingat ungkapan urip mung mampir ngombé. Hidup sekadar mampir minum. Bukan mampir bahagia. Waktunya sak nyuk. Sebentar. Peristiwa minum dihitung pakai detik. Minum belum berkacamata iman.

Padahal, minum bisa jadi lama. Minum tuak, misal. Di novel, beberapa tokoh doyan minum tuak. Aha, atau ngopi! Di warung kopi, adegan menyeruput kopi ditingkahi obral obrol, ngrokok jedhal-jedhul, dan dolanan. Sekak atau remi. Lama. Dan nikmat, jangan lupa. Apalagi sekarang. Warung kopi ber-Wi-Fi. Lama harus ditambahi sekali.

Di warung kopi Bu Siti, kisah dalam novel dibabar oleh Warto Kemplung. Anwar Tohari, nama dagingnya. Namun, orang kadung menjuluki, Warto Kemplung. Berita bohong.

Cerita Warto sampai kepada pembaca melalui tulisan wartawan. Mustofa Abdul Wahab, namanya. Pengisahan bertingkat yang apik.

Di novel, pembaca tahu hakikat bahagia. Lain orang, lain cara mendefinisikan dan mencapainya. Pun, Inayatun dan Mat Dawuk, tokoh yang banyak diceritakan dalam novel.

Dua orang kontras. Perempuan dan lelaki. Si cantik dan si buruk rupa! Oh, tak hanya cantik. Dia membangkitkan berahi.

Matanya genit menggoda. Buah dada dan pinggulnya subur. Belum tamat Madrasah Ibtidaiyah, separuh teman lelaki sebayanya pernah meremas susunya atau memegang bokongnya. (Hlm. 16-17) Tambah besar, seperempat lelaki di desanya pernah merayunya. Setidaknya separuh dari itu dia ladeni. (Hlm. 53) Gairahnya meluap-luap. Dia kembang desa yang gampangan.

Inayatun dibenci bapak-ibunya. Dia digunjing di lingkungannya.

Dawuk, ia jelek. Ibunya mati ketika melahirkannya. Bapak yang membencinya juga mati. Terlindas bus ketika mabuk tuak. Dawuk dijauhi di lingkungannya.

Di Malaysia, dua orang kontras dari desa yang sama, Rumbuk Randu, tak sengaja bertemu, kumpul kebo, dan akhirnya menikah. Kumpul kebo diwarnai gejala budaya menarik. Merasa tak enak atas segala kegiatan perkamarannya dengan Inayatun, Mat Dawuk mencopot poster Ayat Kursi. Ia kardusi Al-Qur’an dan kitab-kitab Arabnya. Ia pasang lagi poster itu setelah menyetujui ajakan Inayatun untuk menikah pada bulan keempat mereka tinggal bersama.

Masyhur di kisah, gejala yang sama hidup dalam masyarakat. NU Jatim pernah mengunggah cerita, pemabuk sungkan melanjutkan minum karena ada gambar kiai di dekatnya. Mabuk adalah satu hal dan menghormat kiai adalah hal lainnya.

Dawuk dan Inayatun memutuskan pulang kampung. Bukan mudik. “Untuk hidup yang lebih baik,” pamit mereka kepada kenalan di Malaysia. (Hlm. 45)

Hujan emas di negeri orang, hujan batu di negeri sendiri, baik jua di negeri sendiri. Peribahasa cocok di novel tetapi sulit pas di kenyataan. Bagi segelintir orang, emas dan batu sama nikmatnya, karena bisa mendatangkan banjir uang. Ingat emas, ingat tambang di Papua dan Tumpang Pitu. Ingat batu, ingat gumuk-gumuk.

Pembaca kelewat romantis akan perdesaan. Dawuk dan Inayatun juga. Di sekolah, buku mencekoki soal kota-desa berkebalikan. Kota: patembayan. Desa: paguyuban. Kota: serbakesusu. Desa: santuy, tenang, kalem. Kota: banyak serigala berbulu domba. Desa: betul-betul banyak ayam, sapi, dan domba. Pokoknya, desa menjanjikan “hidup yang lebih baik”.

Namun, janji kadang terlampau sulit ditepati. Desa tak sesuai petunjuk di buku.

Di Rumbuk Randu, ibu-bapak Inayatun malu. Perkawinan Inayatun-Dawuk dinilai bak melumuri muka dengan tahi segala fauna. Menjijikkan. Semua tak rela.

Agak aneh, sebetulnya. Orang umumnya gandrung cerita ganjil. Beauty and the Beast. Pemudi desa-miskin dan pemuda kota-kaya. Si Cantik dan Si Buruk Rupa. Sebab, yakin kali ini Si Buruk Rupa tak akan berubah jadi pangeran tampan seperti di film?

Mungkin. Yang jelas, di novel, berlatar dongeng dan dendam warisan, realitas perdesaan diangkat ke permukaan. Desa bukan tempat adem. Ia penuh intrik, konflik, tipu daya, serapah, dan darah.

Pembaca mencermati tokoh menyelesaikan masalah. Ada yang menghadapi soal secara fisik. Ada yang hilang akal dan menempuh langkah metafisik. Ada yang takut dan bersembunyi. Ada yang melontar canda dan analogi. Yang terakhir ini ditunjukkan oleh Inayatun.

Nyaris tiap hari, Inayatun muncul dengan muka cerah dan rambut basah. Pemandangan bikin perempuan lain gelisah. Perempuan pedagang ketela nekat bertanya mengenai enaknya kawin dengan Dawuk. Tak langsung menjawab, Inayatun justru bertanya rasa ketela.

“Ketelaku enak semua, In. Lezat sekali kalau direbus,” sahut si penjual.

“Ah, masa?” Inayatun mencibir, “kok bentuknya jelek begini?”

Penjual terjebak. Dengan gerakan seronok, Inayatun mengajak membayangkan ketela sebagai kelamin suaminya, “Hangat, kenyal-kenyal, walaupun nggak pakai direbus.” (Hlm. 51-52)

Akhirnya, jangankan saya. Anwar Ibrahim saja suka. Juga Mustofa Abdul Wahab dan orang-orang di warung kopi Bu Siti. Juga dewan juri Kusala Sastra Khatulistiwa 2017. Semua teracuni bualan. Kira-kira begitu.●fgs

 

 

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar