Minggu, 26 April 2020

Menengahi Buku Kelas Menengah [Resensi “Rumah Kertas” – Carlos María Domínguez]




Data Buku
Judul: Rumah Kertas
Pengarang: Carlos María Domínguez
Penerbit: Marjin Kiri, Tangerang Selatan
Cetakan: IV, Desember 2018
Ukuran: 12 × 19 cm
Tebal: vi + 76 hlm.
ISBN: 978-9791260-62-6



RUMAH KERTAS terbit pertama kali pada 2002 oleh Ediciones de la Banda Oriental di Montevideo, Uruguay, dengan judul La casa de papel. Empat belas tahun kemudian, ia diterbitkan di Indonesia oleh Marjin Kiri.

Saya tergoda membaca. Telat terealisasi. Padahal, banyak pihak menilai novel itu layak baca. New York Times, misalnya. “Buku tipis yang bisa menghantui pembaca jauh sesudah ditutup," katanya.

Tipis memang. Hanya 76 halaman. Habis terbaca sambil menunggui hujan reda dan minum secangkir kopi. Adegan minum kopi juga ada dalam novel. Di halaman 34. Bukan diminum sambil membaca, melainkan beromong-omong dengan tamu.

Di Jawa dan Madura, tuan rumah juga lazim menyuguhi tamu secangkir kopi atau teh. JIka tak ada cangkir, gelas beling hadiah sabun pun jadi. Esensi ada pada isi, bukan wadahnya.

Masih di Jawa dan Madura, sulit dijumpai orang kebanyakan menyeduh kopi untuk teman membaca buku. Bukan soal kopinya. Membacanya!

Menilik kelampauan, buku hanya dibaca dan—apalagi—dimiliki oleh setidaknya kaum menengah atas. Priayi. Mereka juga yang dapat mengenyam pendidikan di sekolah berbahasa pengantar Belanda (HIS, MULO, AMS, ELS, HBS, dan seterusnya), mempelajari banyak hal di sekolah, dan tentu saja menikmati buku.

Kita mengingat nama-nama bapak bangsa yang hampir semua menggandrungi buku. Di antaranya, Soekarno, Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir, dan Agus Salim. Mereka tamatan sekolah kaum elite itu.

Berbeda halnya, sebagian kecil dari masyarakat kebanyakan hanya bersekolah di sekolah berpengantar bahasa daerah. Ada Sekolah Ongko Loro (Tweede Inlandsche School atau Tweede Klasse School) dan Sekolah Desa (Volkschool). Kedua sekolah itu juga disebut sebagai Sekolah Rakyat (SR). Ia diadakan untuk memberantas buta huruf. Sekadar mampu membaca, menulis, dan berhitung.

Maka, ketika Indonesia merdeka, seperti tercatat dalam Haji Agus Salim (1884-1954): Tentang Perang, Jihad, dan Pluralisme, angka buta huruf masih 90 persen. Berpuluh tahun sesudahnya, mengutip Tirto, dalam riset CIA World Factbook (2014), Indonesia berada di urutan ke-121 untuk negara dengan tingkat melek huruf sebesar 92,8 persen. Artinya, 7,2 persen masyarakat di Indonesia masih perlu bantuan orang lain saat harus sekadar membaca plang di pinggir jalan atau berita terhangat di koran lokal. Apa kabar budaya membaca?

Dalam Rumah Kertas, budaya membaca dan hasrat memiliki buku juga hanya dijumpai pada kaum menengah atas. Contohnya, dosen. Mereka memenuhi rumahnya dengan rak-rak penuh buku.

Masyarakat kebanyakan, dalam hal ini adalah masyarakat nelayan di La Paloma, Uruguay, tak memilikinya. Rumah mereka sesak oleh kasur yang dibeber di atas meja-meja tinggi, macam-macam perkakas, piring, botol, kompor gas kecil, dan sisa barang-barang. Tak ada buku!

Seorang penggila buku, Carlos Brauer namanya, yang datang di tengah-tengah mereka dan membuat rumah dari tumpukan buku terasa ganjil. Ia dijauhi dan dianggap sebagai tukang sihir.

Buku dan orang yang mencintainya adalah penyulut mala. Berbahaya. Sama dengan nasihat nenek tokoh Aku di awal kisah, “Sudah, buku itu bahaya, tahu!” Juga sama dengan anggapan orang-orang berseragam yang biasa merazia buku. Kira-kira begitu.●fgs





Tidak ada komentar:

Posting Komentar