Data Buku
Judul:
Rumah Kertas
Pengarang:
Carlos María Domínguez
Penerbit:
Marjin Kiri, Tangerang Selatan
Cetakan:
IV, Desember 2018
Ukuran:
12 × 19 cm
Tebal:
vi + 76 hlm.
ISBN:
978-9791260-62-6
RUMAH
KERTAS terbit pertama kali pada 2002 oleh Ediciones de la Banda Oriental di
Montevideo, Uruguay, dengan judul La casa
de papel. Empat belas tahun kemudian, ia diterbitkan di Indonesia oleh Marjin
Kiri.
Saya tergoda
membaca. Telat terealisasi. Padahal, banyak pihak menilai novel itu layak baca. New York Times, misalnya. “Buku tipis yang bisa menghantui pembaca jauh
sesudah ditutup," katanya.
Tipis
memang. Hanya 76 halaman. Habis terbaca sambil menunggui hujan reda dan minum
secangkir kopi. Adegan minum kopi juga ada dalam novel. Di halaman 34. Bukan
diminum sambil membaca, melainkan beromong-omong dengan tamu.
Di
Jawa dan Madura, tuan rumah juga lazim menyuguhi tamu secangkir kopi atau teh.
JIka tak ada cangkir, gelas beling hadiah sabun pun jadi. Esensi ada pada isi, bukan
wadahnya.
Masih
di Jawa dan Madura, sulit dijumpai orang kebanyakan menyeduh kopi untuk teman membaca
buku. Bukan soal kopinya. Membacanya!
Menilik
kelampauan, buku hanya dibaca dan—apalagi—dimiliki oleh setidaknya kaum menengah atas. Priayi. Mereka juga yang dapat mengenyam pendidikan di sekolah berbahasa
pengantar Belanda (HIS, MULO, AMS, ELS, HBS, dan seterusnya), mempelajari
banyak hal di sekolah, dan tentu saja menikmati buku.
Kita
mengingat nama-nama bapak bangsa yang hampir semua menggandrungi buku. Di
antaranya, Soekarno, Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir, dan Agus Salim. Mereka
tamatan sekolah kaum elite itu.
Berbeda
halnya, sebagian kecil dari masyarakat kebanyakan hanya bersekolah di sekolah berpengantar
bahasa daerah. Ada Sekolah Ongko Loro (Tweede
Inlandsche School atau Tweede Klasse
School) dan Sekolah Desa (Volkschool).
Kedua sekolah itu juga disebut sebagai Sekolah Rakyat (SR). Ia diadakan untuk memberantas
buta huruf. Sekadar mampu membaca, menulis, dan berhitung.
Maka,
ketika Indonesia merdeka, seperti tercatat dalam Haji Agus Salim (1884-1954): Tentang Perang, Jihad, dan Pluralisme,
angka buta huruf masih 90 persen. Berpuluh tahun sesudahnya, mengutip Tirto, dalam
riset CIA World Factbook (2014), Indonesia berada di urutan ke-121 untuk negara
dengan tingkat melek huruf sebesar 92,8 persen. Artinya, 7,2 persen
masyarakat di Indonesia masih perlu bantuan orang lain saat harus sekadar
membaca plang di pinggir jalan atau berita terhangat di koran lokal. Apa kabar
budaya membaca?
Dalam
Rumah Kertas, budaya membaca dan hasrat
memiliki buku juga hanya dijumpai pada kaum menengah atas. Contohnya, dosen. Mereka memenuhi rumahnya dengan rak-rak penuh buku.
Masyarakat
kebanyakan, dalam hal ini adalah masyarakat nelayan di La Paloma, Uruguay, tak
memilikinya. Rumah mereka sesak oleh kasur yang dibeber di atas meja-meja
tinggi, macam-macam perkakas, piring, botol, kompor gas kecil, dan sisa
barang-barang. Tak ada buku!
Seorang
penggila buku, Carlos Brauer namanya, yang datang di tengah-tengah mereka dan
membuat rumah dari tumpukan buku terasa ganjil. Ia dijauhi dan dianggap sebagai
tukang sihir.
Buku
dan orang yang mencintainya adalah penyulut mala. Berbahaya. Sama dengan nasihat nenek
tokoh Aku di awal kisah, “Sudah, buku itu
bahaya, tahu!” Juga sama dengan anggapan orang-orang berseragam yang biasa
merazia buku. Kira-kira begitu.●fgs
Tidak ada komentar:
Posting Komentar