Data Buku
Judul:
Jagoan dan Kekuasaan
Penulis: Riza
Multazam Luthfy
Penerbit: BasaBasi, Yogyakarta
Cetakan: I, Oktober
2018
Ukuran: 14 × 20 cm
Tebal: 168 hlm.
ISBN: 978-602-5783-42-5
MESTINYA,
desa adalah kabar gembira. Seperti lirik Paman
Datang karya Masagus Abdullah Totong Mahmoed (A.T. Mahmud): seorang kemenakan
menjadi girang tak terperi karena pamannya berjanji akan mengajaknya berlibur
ke desa. Ia serta-merta membayangkan mandi di sungai, turun ke sawah, dan menggiring
kerbau ke kandang. Menggembirakan, bukan?
Hampir
semua esai Riza Multazam Luthfy yang dikumpulkan dalam buku bertajuk Jagoan dan Kekuasaan justru menunjukkan kenyataan
yang berbeda. Desa masa kini kerap dianggap sebagai lokus bagi kelampauan, kebodohan,
keterbelakangan, dan kemunduran. Bukan saja oleh warga kota, melainkan oleh
warga desa sendiri.
Bagi
Riza, “Suasana yang digambarkan damai,
tenang, rukun, guyub, dan penuh keharmonisan dalam buku usang dan naskah fiksi
mulai sukar ditemukan dalam realitas.” Masih menurut Riza, yang kita temui di
perdesaan justru, “Perebutan akses,
sarana, sumber ekonomi, dan klaim politis antar individu.” (Hlm. 49) Gawat
betul.
Riza
membuka esainya dengan kisah kentongan. Seturut kemajuan zaman, alat yang
semula berfungsi sebagai pengabar peristiwa mahapenting dan serbagenting
(kebakaran, kemalingan, kematian, dan sebagainya) di desa itu telah digantikan
posisi dan perannya oleh gawai.
Padahal,
kita sama-sama tahu bahwa respons warga atas berita yang sampai melalui media
sosial dan kentongan kerap berbeda. Kini, bagi sebagian orang, kentongan tak
lagi berfungsi sebagai alat komunikasi komunal, melainkan aksesori rumah personal
dengan ragam makna simbolis atau paling-paling romantis. (Hlm. 9-13)
Penurunan
derajat kegunaan dari komunal menjadi personal juga dialami permainan
tradisional. Riza mencontohkan permainan gasing di Lombok. Menurutnya, bermain
adu gasing dapat mengokohkan fondasi masyarakat madani. Sayang, permainan
tradisional yang sesungguhnya medium belajar nilai kearifan lokal itu kalah
bersaing dengan gim daring. (Hlm. 59, 61-62)
Anak-anak
desa yang tertarik memainkannya berkurang. Pelan memang, tapi pasti. Bagaimana
pun, sebagai warga digital asli, anak-anak di mana pun, termasuk di desa, sukar
mengelak dari arus modernisme. Memilih permainan modern mungkin saja mereka
anggap dapat mendongkrak harkat diri sebagai manusia kekinian.
Melalui
sepilihan esai Riza, kita semakin menginsafi bahwa selain kehilangan identitas,
warga di perdesaan juga menghadapi persoalan lain yang tak kalah serius. Di
antaranya, perjudian, peredaran minuman keras, disparitas ekonomi, kesenjangan
sosial, peredaran hoaks, sampai merebaknya isu berlatar SARA.
Soal
SARA misalnya, Riza menyimpulkan, “Sinisme
terhadap segala hal yang berbau chinese
senantiasa dirawat dan diwariskan lintas generasi.” (Hlm. 34) Tak heran,
kekerasan terhadap warga keturunan Tionghoa acap mewarnai sejarah bangsa ini.
Kita tentu masih ingat peristiwa persekusi sejoli berinisial R dan M di Cikupa,
Tangerang, pada 2017. Juga, yang lebih lama, kekerasan seksual terhadap
perempuan Tionghoa di Jakarta pada 1998.
Riza
menyebutkan bahwa kejadian-kejadian itu kerap berlatar kecemburuan ekonomi. “Ada kecenderungan bahwa ketika menghadapi
orang Tionghoa, orang desa merasa berkecil hati,” tulisnya, “enggan mengakui kekalahan, akhirnya mereka
menaruh kecurigaan terhadap Tionghoa.” (Hlm. 34-35)
Memang,
simpulan itu tak sepenuhnya salah. Namun, belum lengkap benar.
Genealogi
kekerasan terhadap warga keturunan Tionghoa tak dapat didasarkan pada aspek
niaga semata. Jika kita mau menelusuri jejak masa lalu, kita akan menemukan
kebijakan pemerintah sejak zaman kolonial hingga Orde Baru yang boleh jadi menjadi
pemicunya.
Sebut
saja, Undang-Undang Wijkenstelsel
yang diterapkan pada 1835. Berdasarkan undang-undang tersebut, warga keturunan
Tionghoa hanya dapat tinggal di wilayah khusus (Chineesche Kamp) yang kemudian disebut pecinan. Mereka tak dapat
membaur. Lalu, kebijakan kolonial mengenai penggolongan warga ke dalam kelas Europeanness (Eropa), Vreande Oosterlingen (Timur asing), dan Inlander (pribumi).
Masa
Orde Lama dan Orde Baru juga punya peraturan yang serupa. Katakanlah, Surat
Edaran Presidium Kabinet Ampera No. SE-06/PRES.KAB/6/1967 pada 28 Juni 1967.
Peraturan yang pada pokoknya mengganti istilah Tionghoa dengan Cina itu
dipandang telah menimbulkan dampak psikososial-deskriminatif terhadap relasi
sosial.
Bagi
Riza, hulu atas sebagian persoalan di desa adalah pendidikan yang alienatif.
Melaluinya, anak-anak desa dipaksa menelan pengetahuan yang jauh dari realitas
keseharian mereka. Anak-anak desa juga disesatkan dalam paradigma semu bahwa
kerja kantoran di kota dengan gaji tinggi adalah tujuan studi.
Akibatnya,
anak-anak desa tak ingin lagi disebut desa. Mereka mau menjadi kota. Maka, desa
ditinggalkan oleh pemuda-pemuda yang sejatinya adalah aset-asetnya. Mereka
hanya bersedia kembali udik saat lebaran tiba. Itu pun sekejap. Bukan menetap.
Dari
29 esai yang ditulis oleh Riza, 14 di antaranya berlatar Jawa. Narasi tentang
desa di Jawa nyatanya masih dominan. Saya kira, ini berarti undangan bagi
penulis lain untuk mengisahkan desa lain dari seluruh pelosok tanah air.
Pada
akhirnya, membaca desa berarti membaca diri kita sendiri. Tak pernah ada
habisnya. Persoalannya, maukah kita mengakui telah berbuat alpa dan
memperbaikinya?●fgs
Tidak ada komentar:
Posting Komentar