Senin, 14 Januari 2019

Membaca Desa, Membaca Kita [Resensi “Jagoan dan Kekuasaan” – Riza Multazam Luthfy]





Data Buku
Judul: Jagoan dan Kekuasaan
Penulis: Riza Multazam Luthfy
Penerbit: BasaBasi, Yogyakarta
Cetakan: I, Oktober 2018
Ukuran: 14 × 20 cm
Tebal: 168 hlm.
ISBN: 978-602-5783-42-5



MESTINYA, desa adalah kabar gembira. Seperti lirik Paman Datang karya Masagus Abdullah Totong Mahmoed (A.T. Mahmud): seorang kemenakan menjadi girang tak terperi karena pamannya berjanji akan mengajaknya berlibur ke desa. Ia serta-merta membayangkan mandi di sungai, turun ke sawah, dan menggiring kerbau ke kandang. Menggembirakan, bukan?

Hampir semua esai Riza Multazam Luthfy yang dikumpulkan dalam buku bertajuk Jagoan dan Kekuasaan justru menunjukkan kenyataan yang berbeda. Desa masa kini kerap dianggap sebagai lokus bagi kelampauan, kebodohan, keterbelakangan, dan kemunduran. Bukan saja oleh warga kota, melainkan oleh warga desa sendiri.

Bagi Riza, “Suasana yang digambarkan damai, tenang, rukun, guyub, dan penuh keharmonisan dalam buku usang dan naskah fiksi mulai sukar ditemukan dalam realitas.” Masih menurut Riza, yang kita temui di perdesaan justru, “Perebutan akses, sarana, sumber ekonomi, dan klaim politis antar individu.” (Hlm. 49) Gawat betul.

Riza membuka esainya dengan kisah kentongan. Seturut kemajuan zaman, alat yang semula berfungsi sebagai pengabar peristiwa mahapenting dan serbagenting (kebakaran, kemalingan, kematian, dan sebagainya) di desa itu telah digantikan posisi dan perannya oleh gawai.

Padahal, kita sama-sama tahu bahwa respons warga atas berita yang sampai melalui media sosial dan kentongan kerap berbeda. Kini, bagi sebagian orang, kentongan tak lagi berfungsi sebagai alat komunikasi komunal, melainkan aksesori rumah personal dengan ragam makna simbolis atau paling-paling romantis. (Hlm. 9-13)

Penurunan derajat kegunaan dari komunal menjadi personal juga dialami permainan tradisional. Riza mencontohkan permainan gasing di Lombok. Menurutnya, bermain adu gasing dapat mengokohkan fondasi masyarakat madani. Sayang, permainan tradisional yang sesungguhnya medium belajar nilai kearifan lokal itu kalah bersaing dengan gim daring. (Hlm. 59, 61-62)

Anak-anak desa yang tertarik memainkannya berkurang. Pelan memang, tapi pasti. Bagaimana pun, sebagai warga digital asli, anak-anak di mana pun, termasuk di desa, sukar mengelak dari arus modernisme. Memilih permainan modern mungkin saja mereka anggap dapat mendongkrak harkat diri sebagai manusia kekinian.

Melalui sepilihan esai Riza, kita semakin menginsafi bahwa selain kehilangan identitas, warga di perdesaan juga menghadapi persoalan lain yang tak kalah serius. Di antaranya, perjudian, peredaran minuman keras, disparitas ekonomi, kesenjangan sosial, peredaran hoaks, sampai merebaknya isu berlatar SARA.

Soal SARA misalnya, Riza menyimpulkan, “Sinisme terhadap segala hal yang berbau chinese senantiasa dirawat dan diwariskan lintas generasi.” (Hlm. 34) Tak heran, kekerasan terhadap warga keturunan Tionghoa acap mewarnai sejarah bangsa ini. Kita tentu masih ingat peristiwa persekusi sejoli berinisial R dan M di Cikupa, Tangerang, pada 2017. Juga, yang lebih lama, kekerasan seksual terhadap perempuan Tionghoa di Jakarta pada 1998.

Riza menyebutkan bahwa kejadian-kejadian itu kerap berlatar kecemburuan ekonomi. “Ada kecenderungan bahwa ketika menghadapi orang Tionghoa, orang desa merasa berkecil hati,” tulisnya, “enggan mengakui kekalahan, akhirnya mereka menaruh kecurigaan terhadap Tionghoa.” (Hlm. 34-35)

Memang, simpulan itu tak sepenuhnya salah. Namun, belum lengkap benar.

Genealogi kekerasan terhadap warga keturunan Tionghoa tak dapat didasarkan pada aspek niaga semata. Jika kita mau menelusuri jejak masa lalu, kita akan menemukan kebijakan pemerintah sejak zaman kolonial hingga Orde Baru yang boleh jadi menjadi pemicunya.

Sebut saja, Undang-Undang Wijkenstelsel yang diterapkan pada 1835. Berdasarkan undang-undang tersebut, warga keturunan Tionghoa hanya dapat tinggal di wilayah khusus (Chineesche Kamp) yang kemudian disebut pecinan. Mereka tak dapat membaur. Lalu, kebijakan kolonial mengenai penggolongan warga ke dalam kelas Europeanness (Eropa), Vreande Oosterlingen (Timur asing), dan Inlander (pribumi).

Masa Orde Lama dan Orde Baru juga punya peraturan yang serupa. Katakanlah, Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera No. SE-06/PRES.KAB/6/1967 pada 28 Juni 1967. Peraturan yang pada pokoknya mengganti istilah Tionghoa dengan Cina itu dipandang telah menimbulkan dampak psikososial-deskriminatif terhadap relasi sosial.

Bagi Riza, hulu atas sebagian persoalan di desa adalah pendidikan yang alienatif. Melaluinya, anak-anak desa dipaksa menelan pengetahuan yang jauh dari realitas keseharian mereka. Anak-anak desa juga disesatkan dalam paradigma semu bahwa kerja kantoran di kota dengan gaji tinggi adalah tujuan studi.

Akibatnya, anak-anak desa tak ingin lagi disebut desa. Mereka mau menjadi kota. Maka, desa ditinggalkan oleh pemuda-pemuda yang sejatinya adalah aset-asetnya. Mereka hanya bersedia kembali udik saat lebaran tiba. Itu pun sekejap. Bukan menetap.

Dari 29 esai yang ditulis oleh Riza, 14 di antaranya berlatar Jawa. Narasi tentang desa di Jawa nyatanya masih dominan. Saya kira, ini berarti undangan bagi penulis lain untuk mengisahkan desa lain dari seluruh pelosok tanah air.

Pada akhirnya, membaca desa berarti membaca diri kita sendiri. Tak pernah ada habisnya. Persoalannya, maukah kita mengakui telah berbuat alpa dan memperbaikinya?●fgs

Tidak ada komentar:

Posting Komentar