Data Buku
Judul:
Bapakku Indonesia
Penulis:
Maman Suherman
Penerbit:
POP, Jakarta
Cetakan:
I, April 2018
Ukuran:
13,5 × 20 cm
Tebal:
viii + 151 hlm.
ISBN:
978-602-424-842-0
“HIDUP
adalah perjalanan menuju pulang,” kata Kang Maman, “seraya memetik remah-remah
kenangan masa lalu.” (hlm. 52) Barangkali, ia benar. Jika bukan untuk semua
orang, setidaknya untuk dirinya. Banyak orang terlalu sibuk menghidupi keakanan
hingga lupa menengok kelampauan.
Namanya
M. Suherman. M kependekan dari Muhammad. Nama nabi agung. Gurunya salah
kira. Guru kadung digelari digugu dan ditiru. Gelar, mungkin, membuat guru wagu
bertanya. M dianggap kependekan dari Maman. Di Sumedang, lazim begitu.
Jadilah, Maman Suherman. Tercetak dalam ijazah.
Kang
Maman bukan menganggapnya sebagai masalah. Ia suka nama itu. Mungkin membawa
hoki baginya. Saya tak tahu. Yang pasti saya tahu, jangan malu bertanya agar
tak salah duga. Jangan juga terlalu banyak bertanya. Seperti guru saat ujian
sekolah saja. Sudah banyak, diulang tiap tahun pula. Tak pernah belajar,
tampaknya.
Kang
Maman anak tentara. Bukan sembarang tentara. Ia tentara bersenjata lembar
berita. Kerap ia mengeja media massa untuk Kang Maman belia. Kang Maman suka. Belum
genap empat warsa, ia bisa membaca. (hlm. 70)
Kang
Maman terkenang bapaknya. Sama seperti galibnya kita. Bapak menginspirasi dan menyumbang
banyak jasa.
Beberapa
buku yang terbit sebelum Bapakku
Indonesia ini bercerita pula tentang bapak masing-masing. Sebut saja Bung Karno: Bapakku, Kawanku, Guruku
tulisan Guntur Sukarnoputra. Lalu, Ayah...
karya Irfan Hamka. Eh, jangan lupa, Leky
tulisan Guntur Setiaputra. Ha-ha. Mana bisa tulisan singkat begitu disejajarkan
dengan dua tajuk sebelumnya.
Buku
Kang Maman ini bermanfaat. Darinya kita dapat memetik kiat. Soal nilai dan pola
asuh anak, misalnya.
Kang
Maman sering bercerita tentang kejujuran bapaknya. Contohnya dalam bab “Ditendang” Bapak. Ibunya memarahi
bapaknya. Bapaknya tak membela diri. Ia tak suka berdalih. Ia mengakui
perbuatannya, meminta maaf, dan terus menunduk selama dimarahi oleh istrinya.
Setelah semua selesai, kata Kang Maman, “Aku melihat Bapak meneteskan air mata
... dan terduduk diam di kursi.” (hlm. 46-47)
Bapak
Kang Maman mengajarkan kejujuran kepada anak-anaknya. Pada ketika yang lain, ia
mengetahui bahwa Kang Maman mengambil kupon bensinnya tanpa izin. Ia tak marah.
Ia mengajak bicara. Dan memberi hukuman yang menumbuhkan tanggung jawab, tentu
saja. (hlm. 35-37)
Tanpa
kekerasan. Sama sekali. “Bapakmu tidak pernah memukulmu,” kata Ibu Kang Maman.
(hlm. 41)
Bapak
Kang Maman pribadi yang asyik. Ia mengajarkan pengetahuan dengan asyik. Soal
becak, misalnya. Alih-alih mencekoki Kang Maman hafalan mengenainya, Ia justru mengajak
Kang Maman kecil bersama-sama mengamati becak secara mendetail. Termasuk jumlah
anak jenteranya.
Saya jadi teringat Rabindranath Tagore. Ia pernah berkata, "Bawalah murid-murid kepada kenjataan jang selalu baru dalam hidupnja. Biarlah perkembangan mereka merupakan suatu piknik jang selalu ada landjutnja."
Kita lebih mengenal Ki Hadjar Dewantara daripada Tagore. Meski keduanya berkawan. Tagore bahkan pernah mengunjungi Taman Siswa. Tak apa. Namanya saja mencintai produk-produk Indonesia.
Bapak Kang Maman mungkin juga tak mengenal Tagore. Namun, ia telah mempraktikkan metode pendidikan Tagore.
Saya jadi teringat Rabindranath Tagore. Ia pernah berkata, "Bawalah murid-murid kepada kenjataan jang selalu baru dalam hidupnja. Biarlah perkembangan mereka merupakan suatu piknik jang selalu ada landjutnja."
Kita lebih mengenal Ki Hadjar Dewantara daripada Tagore. Meski keduanya berkawan. Tagore bahkan pernah mengunjungi Taman Siswa. Tak apa. Namanya saja mencintai produk-produk Indonesia.
Bapak Kang Maman mungkin juga tak mengenal Tagore. Namun, ia telah mempraktikkan metode pendidikan Tagore.
Sayang,
bapak Kang Maman wafat “sebelum waktunya”. Ia diguna-guna. Kira-kira begitu.●fgs
Tidak ada komentar:
Posting Komentar