Minggu, 16 Desember 2018

Rindu Bapak [Resensi “Bapakku Indonesia” – Maman Suherman]




Data Buku
Judul: Bapakku Indonesia
Penulis: Maman Suherman
Penerbit: POP, Jakarta
Cetakan: I, April 2018
Ukuran: 13,5 × 20 cm
Tebal: viii + 151 hlm.
ISBN: 978-602-424-842-0



“HIDUP adalah perjalanan menuju pulang,” kata Kang Maman, “seraya memetik remah-remah kenangan masa lalu.” (hlm. 52) Barangkali, ia benar. Jika bukan untuk semua orang, setidaknya untuk dirinya. Banyak orang terlalu sibuk menghidupi keakanan hingga lupa menengok kelampauan.

Namanya M. Suherman. M kependekan dari Muhammad. Nama nabi agung. Gurunya salah kira. Guru kadung digelari digugu dan ditiru. Gelar, mungkin, membuat guru wagu bertanya. M dianggap kependekan dari Maman. Di Sumedang, lazim begitu. Jadilah, Maman Suherman. Tercetak dalam ijazah.

Kang Maman bukan menganggapnya sebagai masalah. Ia suka nama itu. Mungkin membawa hoki baginya. Saya tak tahu. Yang pasti saya tahu, jangan malu bertanya agar tak salah duga. Jangan juga terlalu banyak bertanya. Seperti guru saat ujian sekolah saja. Sudah banyak, diulang tiap tahun pula. Tak pernah belajar, tampaknya.

Kang Maman anak tentara. Bukan sembarang tentara. Ia tentara bersenjata lembar berita. Kerap ia mengeja media massa untuk Kang Maman belia. Kang Maman suka. Belum genap empat warsa, ia bisa membaca. (hlm. 70)

Kang Maman terkenang bapaknya. Sama seperti galibnya kita. Bapak menginspirasi dan menyumbang banyak jasa.

Beberapa buku yang terbit sebelum Bapakku Indonesia ini bercerita pula tentang bapak masing-masing. Sebut saja Bung Karno: Bapakku, Kawanku, Guruku tulisan Guntur Sukarnoputra. Lalu, Ayah... karya Irfan Hamka. Eh, jangan lupa, Leky tulisan Guntur Setiaputra. Ha-ha. Mana bisa tulisan singkat begitu disejajarkan dengan dua tajuk sebelumnya.

Buku Kang Maman ini bermanfaat. Darinya kita dapat memetik kiat. Soal nilai dan pola asuh anak, misalnya.

Kang Maman sering bercerita tentang kejujuran bapaknya. Contohnya dalam bab “Ditendang” Bapak. Ibunya memarahi bapaknya. Bapaknya tak membela diri. Ia tak suka berdalih. Ia mengakui perbuatannya, meminta maaf, dan terus menunduk selama dimarahi oleh istrinya. Setelah semua selesai, kata Kang Maman, “Aku melihat Bapak meneteskan air mata ... dan terduduk diam di kursi.” (hlm. 46-47)

Bapak Kang Maman mengajarkan kejujuran kepada anak-anaknya. Pada ketika yang lain, ia mengetahui bahwa Kang Maman mengambil kupon bensinnya tanpa izin. Ia tak marah. Ia mengajak bicara. Dan memberi hukuman yang menumbuhkan tanggung jawab, tentu saja. (hlm. 35-37)

Tanpa kekerasan. Sama sekali. “Bapakmu tidak pernah memukulmu,” kata Ibu Kang Maman. (hlm. 41)

Bapak Kang Maman pribadi yang asyik. Ia mengajarkan pengetahuan dengan asyik. Soal becak, misalnya. Alih-alih mencekoki Kang Maman hafalan mengenainya, Ia justru mengajak Kang Maman kecil bersama-sama mengamati becak secara mendetail. Termasuk jumlah anak jenteranya.

Saya jadi teringat Rabindranath Tagore. Ia pernah berkata, "Bawalah murid-murid kepada kenjataan jang selalu baru dalam hidupnja. Biarlah perkembangan mereka merupakan suatu piknik jang selalu ada landjutnja."

Kita lebih mengenal Ki Hadjar Dewantara daripada Tagore. Meski keduanya berkawan. Tagore bahkan pernah mengunjungi Taman Siswa. Tak apa. Namanya saja mencintai produk-produk Indonesia.

Bapak Kang Maman mungkin juga tak mengenal Tagore. Namun, ia telah mempraktikkan metode pendidikan Tagore.

Sayang, bapak Kang Maman wafat “sebelum waktunya”. Ia diguna-guna. Kira-kira begitu.●fgs



Tidak ada komentar:

Posting Komentar