Kamis, 09 Januari 2014

PNPM dan Pembangunan Karakter Bangsa


BERKENAAN dengan tema Indonesia disebut sebagai Bangsa yang Lembek, Benarkah? yang terkandung dalam pesan (artikel) berjudul Tetap harus dimulai, Sekalipun belum tentu Selesai di www.darwinsaleh.com, saya berpandangan bahwa pendapat tersebut benar adanya. Bangsa ini memerlukan sikap pragmatis dalam arti segera cancut tali wanda; segera bertindak untuk kepentingan bersama, untuk memperbaiki kondisi, di sini dan saat ini. Saya punya satu cerita.

Bulan lalu (23/12), saya diundang untuk mengikuti Workshop Evaluasi Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Perdesaan di Hotel Grand Pujon View, Pujon, Malang. Berdasarkan monogram, acara akan dimulai pukul 07.00 WIB. Seluruh peserta wajib hadir tepat waktu, karena acara dianggap sungguh penting.

Demi menghadiri acara mahapenting itu, saya harus berangkat pukul 04.15 WIB dari Mojokerto. Saya sempat singgah di rumah orang tua saya. Sebentar saja, lalu segera melanjutkan perjalanan ke Pujon. Hasilnya, saya dapat hadir tepat pukul 07.00 WIB.

Namun, betapa terkejutnya saya, ternyata masih sedikit sekali peserta yang hadir. Baru belasan orang termasuk saya. Kepada seorang teman yang kebetulan menghubungi saya melalui WhatsApp, saya mengeluh tentang keterkejutan, lebih tepatnya kejengkelan, saya itu. Teman saya berkomentar, “Kamu masih di Indonesia kan? Di sini jika tidak telat dianggap kurang afdal… .” Ah! Saya berharap ini bukanlah Indonesia...



Baiklah, rupanya saya tak punya pilihan lain kecuali bersabar. Kapan, ya, bangsa ini berubah menjadi bangsa yang menghargai dan karenanya berdisiplin waktu?

Saya jadi teringat tulisan Jakob Oetama dalam Sketsa Tokoh tentang Ibrahim, pedel Universitas Indonesia (UI) pada awal 1957. Berkat ketegasan Ibrahim, sejak itu upacara promosi atau inaugurasi di UI selalu dimulai tepat pada waktunya. Peserta yang terlambat datang, sekali pun menteri, terpaksa harus masuk melalui jalan yang kurang lazim. Pintu utama telah ditutup. Hal itu pernah terjadi beberapa kali. Saat pengukuhan Prof. Dr. Widjojo Nitisastro pada 10 Agustus 1963, contohnya.

Ibrahim berkeras menumbuhkan ciri kedisiplinan; memulai sesuatu tepat dan telak pada detik yang telah ditentukan sebelumnya. Ia mengaku tak pernah bertoleransi terhadap jam karet, kecuali sekali, saat Ibu Negara Fatmawati datang terlambat. Itu pun, Ibrahim harus menghentikan acara terlebih dulu untuk membukakan pintu dan memulainya kembali setelah Fatmawati mengambil tempat. Benarlah bahwa perubahan, apalagi yang revolusioner, mesti dibarengi dengan ketegasan dalam pelaksanaannya. Alasannya jelas. Seperti kata Ibrahim, “Soalnya begini. Kalau mengalah sekali, berarti akan mengalah berturut-turut.”

Tentang ketakdisiplinan rerata orang Indonesia ini, Koentjaraningrat pernah membahasnya dulu. Menurutnya, masyarakat Indonesia secara umum memiliki mentalitas yang dapat mengganggu pembangunan, yaitu sifat mentalitas yang suka menerabas, sifat mentalitas yang meremehkan mutu, sifat tak percaya kepada diri sediri, sifat tak berdisiplin murni, dan sifat mentalitas yang suka mengabaikan tanggung jawab yang kokoh.

Lebih lanjut, sebenarnya bukan hanya Koentjaraningrat yang pernah meneliti ciri negatif bangsa Indonesia. Tentu kita masih ingat uraian Muchtar Lubis dalam Manusia Indonesia. Menurutnya, manusia Indonesia memiliki ciri: (1) hipokrit alias munafik, (2) enggan bertanggung jawab atas perbuatan dan keputusannya, (3) berjiwa feodal, (4) percaya takhayul, (5) artistik, dan (6) berwatak lemah. Ada lagi Ryan Sugiarto. Dalam 55 Kebiasaan Kecil yang Menghancurkan Bangsa, ia bahkan merinci watak negatif manusia Indonesia ke dalam 4 bagian yang total berjumlah 55 ciri, di antaranya: meremehkan waktu, tidak disiplin, meremehkan orang lain, dan tidak terbiasa antri.

Sungguh, saya berharap bahwa semua itu bukanlah Indonesia. Tetapi, beginilah adanya. Persoalannya kemudian adalah bagaimana memperbaiki mentalitas bangsa ini? Bukankah dalam pembangunan kita memerlukan karakter pendukung yang positif?

Saya yakin, dengan modal sosial budaya yang kita punya, itu semua dapat diperbaiki. Tentu saja harus melalui upaya terstruktur, terencana, dan konsisten. Saya ingat, banyak tokoh bangsa ini yang memiliki optimisme tentang perubahan masyarakat ke arah lebih baik. Bagaimanakah caranya? Koentjaraningrat dalam Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan menyebutkan bahwa ada beberapa hal yang dapat kita lakukan, yaitu: (1) memberi contoh yang baik, (2) memberi perangsang yang cocok, (3) persuasi dan penerangan, serta (4) pembinaan dan pengasuhan generasi yang baru dalam kalangan keluarga.

Menurut saya, program pemerintah untuk penanggulangan kemiskinan seperti PNPM Mandiri Perdesaan sesuai dengan misi itu. Basis pemberdayaan masyarakat itulah pokoknya. Hari ini, pada saat sebagian besar masyarakat percaya bahwa tahun 2014 adalah tahun terakhir PNPM Mandiri Perdesaan, mestinya kita berfokus mengerjakan pekerjaan rumah yang menumpuk. Bukan hanya target-target kuantitatif; sederet angka-angka yang seolah cerminan kondisi riil capaian kita, tetapi juga pembangunan karakter dan perilaku masyarakat. Sekali lagi, kita perlu lebih serius dalam memperhatikan pengembangan karakter masyarakat. Kita wujudkan perhatian kita itu dalam segala praksis kegiatan. Bukankah PNPM sebenarnya adalah alat berproses yang strategis untuk itu? Maka, marilah kita mulai berbuat, bukan hanya berdebat.

Mengutip Richard Hovey, “Kekayaan suatu bangsa adalah manusia-manusianya, bukan sutera, katun, atau emas.” Ya benar, manusia! Seperti teks lagu kebangsaan kita, “Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya, untuk Indonesia raya.” Tanpa upaya yang serius untuk itu... ah, saya tak berani, bahkan untuk sekadar, membayangkannya.•fgs




Tulisan ini dibuat untuk mengikuti lomba blog dari www.darwinsaleh.com. Tulisan adalah karya saya sendiri dan bukan merupakan jiplakan.



Bibliografi

Koentjaraningrat. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004
Oetama, Jakob. Sketsa Tokoh. Jakarta: Intisari Mediatama, 2003
Sugiarto, Ryan. 55 Kebiasaan Kecil yang Menghancurkan Bangsa. Yogyakarta: Pinus Book Publishing, 2009





Tidak ada komentar:

Posting Komentar