Jumat, 24 Agustus 2012

PNPM dan Revitalisasi Nilai-nilai Pancasila




Pancasila.
Satu, Ketuhanan Yang Maha Esa.
Dua, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab.
Tiga, Persatuan Indonesia.
Empat, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan
dalam Permusyawaratan/Perwakilan.
Lima, Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.


SENGAJA saya membuka tulisan ini dengan lima sila yang agung itu. Bukan tanpa alasan. Saya ingat, dulu semasa sekolah dasar, saya dan kawan-kawan saya selalu membacanya sebelum memulai kegiatan belajar di kelas. Tentu saja, saya dan kawan-kawan saya hafal betul teks Pancasila itu.

Awalnya, kami memang menghafalnya tanpa alasan jelas, kecuali mengikuti perintah guru dan, ya, takut dihukum berdiri di depan kelas. Berdiri seorang diri di depan kelas karena tak hafal teks Pancasila sungguh memalukan dan mengerikan. Memalukan karena tampak kurang pandai menghafal dan mengerikan karena berdiri seorang diri di depan kelas benar-benar terasa berbeda dengan lainnya. Jika lainnya yang banyak itu hafal Pancasila dan kemudian disebut Pancasilais, lalu yang tak hafal dan karenanya menjadi berbeda itu disebut apa? Entah mengapa, momentum menghafal Pancasila yang seharusnya menyenangkan itu berubah menjadi semacam teror.



Kini, setelah Indonesia berusia 67 tahun, saya justru merasa Pancasila terasingkan. Betapa tidak, jangankan dihayati dan dipraktikkan dalam praksis kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, dihafal pun tidak. Pancasila juga jarang dibicarakan, apalagi direfleksikan. Mungkin, bagi sebagian masyarakat kita, Pancasila hanyalah sepotong kisah sejarah yang kusam dan berdebu. Memahaminya tak seasyik, misalnya, ikuti gempita boyband dan girlband Korea.

Dua tahun yang lalu, Rikard Bagun pernah menilai kondisi ini. Menurutnya, “Tidak ada kegairahan tinggi yang mampu mengartikulasikan Pancasila terus-menerus agar semakin berakar kuat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Tanpa banyak disadari, penghayatan dan pengamalan Pancasila menjadi kedodoran”.

Panggang Menjauh dari Api
Melalui Tap MPR No. I/MPR/2003 tentang 45 butir Pancasila, sebenarnya pedoman praktis pengamalan Pancasila telah ada. Namun benarlah bahwa di mana-mana pelaksanaan memang tak semudah kata-kata.

Kenyataannya, seperti diungkapkan oleh Soemarno Soemarsono, yang dihadapi oleh bangsa ini sekarang tak hanya krisis identitas tetapi juga krisis intelektual dan moral. Di tengah masyarakat kita berkembang nilai dan perilaku budaya kekayaan tanpa bekerja, kesenangan tanpa nurani, pengetahuan tanpa karakter, bisnis tanpa moralitas, ilmu pengetahuan tanpa kemanusiaan, dan agama tanpa pengorbanan.

Ya, semua atas nama dunia. Sumber dan cara memperolehnya tak lagi penting, apalagi peruntukannya. Maka, korupsi, kolusi, dan nepotisme menjadi sesuatu yang lumrah di negeri ini. Tindakan itu tak lagi memalukan. Para pelakunya merasa bahwa yang mereka lakukan adalah hal yang jamak, benar, dan manusiawi. Rakyat pun nyatanya tak menghukum mereka. Bahkan, rakyat memilih mereka kembali dalam pemilihan pemimpin di level apa pun; di desa, di kecamatan, di kabupaten, dan seterusnya.

Penghormatan kepada hidup dan kehidupan luluh lantak dihantam oleh kekerasan yang menjelma dalam setiap lini kehidupan: pengafiran, pemerkosaan, pemberontakan, penggusuran, dan pemiskinan. Ia menjadi tontonan, seperti pornografi yang dinikmati diam-diam, seperti komedi yang bersama-sama ditertawakan. Ia bergerak sambung-menyambung tanpa henti, berebut tempat dalam memori. Yang lama berganti yang baru dan yang baru digantikan yang lebih baru lagi. Lalu, kita pun lupa dan lambat laun menganggap kekerasan adalah hal yang biasa, seolah itu manusiawi. The banality of evil, kata Arendt.

Lebih lanjut, dalam tujuan tak ada lagi kekitaan. Hanya aku. Dan keakuan itu lalu memonopoli segala: hak, tafsir kebenaran, apa pun. Tak ada ruang bagi kepentingan kolektif. Ketika diajak untuk berkumpul  dan membincangkan permasalahan bersama, sebagian dari masyarakat kita dapat berlalu bak kafilah sambil berujar: “Ah, nggak penting!”.
           
Peran PNPM
Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Perdesaan adalah program penanggulangan kemiskinan (pronangkis) di wilayah perdesaan yang diresmikan oleh Presiden SBY pada 30 April 2007. Program berbasis pemberdayaan masyarakat ini mengadopsi keberhasilan mekanisme dan prosedur Program Pengembangan Kecamatan (PPK) yang telah dilaksanakan oleh pemerintah beberapa tahun sebelumnya.

PNPM Mandiri Perdesaan dapat dikategorikan sebagai pronangkis terbesar saat ini. Pada 2011, 5.019 kecamatan se-Indonesia telah menerima dana Bantuan Langsung Masyarakat (BLM) dari program ini dengan nilai total mencapai Rp8,234 triliun. Masing-masing kecamatan mendapatkan dana sekira Rp750 juta hingga Rp3 milyar. Besaran BLM yang diterima oleh masyarakat per kecamatan itu bergantung pada jumlah penduduk dan tingkat kemiskinannya.

Berkaitan dengan aspek pemberdayaan masyarakat, PNPM Mandiri Perdesaan mensyaratkan pelibatan seluruh elemen masyarakat secara aktif dalam tahapan kegiatan, mulai dari perencanaan hingga pelestarian. Keberadaan masyarakat dianggap penting dalam hal ini. Mereka adalah obyek dan sekaligus subyek pembangunan.

Sering saya membayangkan bahwa PNPM Mandiri Perdesaan tak ubahnya sebuah rekayasa sosial. Dalam bentuk idealnya, program tersebut mengupayakan adanya kesatuan antara teori, nilai, dan tindakan. Sebagai teori, segala aturan, tahapan, dan lain-lain, memiliki nilai-nilai tersendiri yang diharapkan dapat senantiasa diaktualisasikan dalam tindakan keseharian. Nilai-nilai dasar PNPM Mandiri Perdesaan itu sejatinya adalah cerminan dari nilai-nilai luhur Pancasila.

Sebagai contoh, musyawarah mulai tingkat dusun hingga kecamatan seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, sesungguhnya merupakan pengamalan nilai permusyawaratan secara hikmat dan bijaksana. Dalam setiap forum musyawarah, masyarakat diajak untuk menemukenali kendala yang dihadapinya melalui diskursus kesetaraan dan kemudian bersama-sama menentukan solusinya.

Dalam forum yang sama, masyarakat belajar menentukan prioritas kegiatan yang akan didanai berdasarkan komposisi kebutuhan dan kemampuan sendiri. Di tingkatan ini, masyarakat juga belajar ikhlas menerima usulan lain yang lebih penting untuk segera direalisasikan dibandingkan dengan usulannya. Maka, konsep siapa pun harus menenggang kepada siapa pun akhirnya bukan sekadar kata-kata. Ia mewujud dalam tindakan nyata.

Contoh lain, partisipasi seluruh masyarakat dalam seluruh tahapan. Pelaksanaan nilai ini merupakan cerminan sikap dan suasana kekeluargaan dan kegotongroyongan. “Pembantingtulangan bersama, pemerasan keringat bersama, ... amal semua buat kepentingan semua, keringat semua buat kebahagiaan semua,” kata Bung Karno. Ini adalah upaya mewujudkan kohesi sosial yang kuat sebagai salah satu modal pembangunan.

Dalam hal penegakan nilai transpansi dan akuntabilitas, PNPM Mandiri Perdesaan menggiatkan kembali adanya papan informasi. Seluruh hasil musyawarah, pencairan dan penggunaan dana, serta hal-hal lain yang berkaitan dengan pelaksanaan kegiatan ditempelkan di papan tersebut. Selain itu, PNPM Mandiri Perdesaan juga mengenalkan musyawarah desa pertanggungjawaban (MPJ) 40%, MPJ 80%, dan musyawarah desa serah terima. Seluruh tahap itu mengajarkan kepada masyarakat bahwa dana milik masyarakat itu harus dipertanggungjawabkan secara terbuka kepada masyarakat.

Masyarakat Pancasilais
Kita rindu masyarakat yang tak hanya saleh secara ritual, tetapi juga sosial. Kita rindu masyarakat yang tak hanya mementingkan egonya. Kita rindu masyarakat yang mengupayakan pengamalan nilai-nilai Pancasila secara konsekuen. Dalam istilah Raka Santeri adalah masyarakat pancasilais.

Masyarakat seperti itu bukanlah bentuk masyarakat yang utopis. Rivitalisasi nilai-nilai Pancasila dapat dan memang harus diwujudkan. Untuk itu, masyarakat harus menyatukan tekad lalu berbareng bergerak. Masyarakat tak perlu buang-buang energi untuk menanggapi gangguan berupa kasak-kusuk, intrik, cemooh, atau sinis dari orang yang punya vested-interest. Pada aras ini, PNPM Mandiri Perdesaan memiliki peran strategis untuk mendorong proses menjadinya.

Akhirnya, mengutip ajakan M. Fadjroel Rachman, “optimislah dan jangan pernah letih mencintai Indonesia”. Dirgahayu negeriku. Dirgahayu Republik Indonesia tercinta. Merdeka!



Febrie G. Setiaputra






2 komentar:

  1. Salam,
    saya Ponco dari Warta Kesra, Tabloid terbitan Kemenko Kesra. Membaca tulisan saudara 'PNPM dan Revitalisasi Nilai-nilai Pancasila' saya tertarik untuk mempublikasikannya di tabloid. Untuk itu saya mohon ijin untuk publikasi.
    Anda bisa menjawabnya via email : wartakesra@menkokesra.go.id atau poncosuharyanto@yahoo.co.id

    Terima kasih

    BalasHapus
  2. Monggo. Silakan Bapak. Semoga bermanfaat.

    BalasHapus