SEINGAT
saya, dalam beberapa rapat koordinasi tingkat kabupaten terakhir selalu
diagagendakan evaluasi pelaksanaan kegiatan secara menyeluruh. Tiga kali di
antaranya, fasillitator kabupaten membacakan hasil evaluasi oleh Bank Dunia.
Menimbang hal itu, beberapa kawan menilai bahwa pelaksanaan program, utamanya
aspek pemberdayaan, tak dalam kondisi baik, tak on the track. Benarkah?
Evaluasi
menurut Kamus Bahasa Indonesia adalah penilaian. Sedangkan menurut Merriam
Webster, evaluasi (evaluate) berarti
“to determine or fix the value of,”
untuk menentukan atau memperbaiki nilai sesuatu, atau “to determine the significance, worth, or condition of usually by
careful appraisal and study,” untuk menentukan signifikansi, kelayakan,
atau kondisi tertentu dengan pendekatan dan studi yang cermat. Berdasarkan
kedua kamus tersebut, evaluasi dapat dimaknai sebagai penilaian atas kondisi
tertentu dengan menggunakan cara atau pendekatan dengan tujuan memperbaikinya.
Di
dalam program pemberdayaan, dalam hal ini Program Nasional Pemberdayaan
Masyarakat (PNPM) Mandiri Perdesaan, evaluasi sebenarnya bukan merupakan hal
asing. Fasilitasi kegiatan tersebut telah diatur tersendiri dalam Petunjuk
Teknis Operasional (PTO). Menurut Penjelasan II PTO PNPM Mandiri Perdesaan,
“Evaluasi merupakan cara untuk menilai hasil kegiatan fasilitasi yang dicapai.
Evaluasi dilakukan setelah melaksanakan kegiatan. Dengan evaluasi Fasilitator
(sic) dan masyarakat bisa mengetahui kendala-kendala yang kita hadapi dalam
menyelenggarakan pertemuan. Dan yang lebih penting, masyarakat dapat mengetahui
apakah tujuan telah tercapai atau belum.”
Artinya,
evaluasi justru merupakan sebuah kegiatan yang harus senantiasa difasilitasi
penyelenggaraannya agar masyarakat dapat mengetahui pencapaian tujuan kegiatan
dan kendala-kendalanya.
Kini,
evaluasi seolah menjadi sesuatu yang mewah. Fasilitator terlalu sibuk melakukan
kerja keproyekan, sehingga pemberdayaan terbengkalai. Di sudut lain, sebagian
di antara fasilitator juga terlalu berprasangka terhadap pelaksanaan evaluasi.
Sejenak,
saya teringat ucapan Koordinator Provinsi (Korprov) Jawa Timur saat sesi pembukaan
dan orientasi pelatihan penyegaran fasilitator di Jember pada 18 Agustus 2010.
Korprov menyampaikan bahwa kini fasilitator berada di zona mapan; nyaman
berbuat mekanis, hanya melaksanakan tahapan dan tugas atasan, tanpa sempat
berevaluasi atau berrefleksi. Akibatnya, fasilitator dan PTO menjadi sesuatu
yang asing di tengah realitas masyarakat. Mereka, dalam ungkapan ekspresif
orang Jawa, dapat dikatakan lali jiwa.
Evaluasi
memang penting dilakukan, namun ketika evaluasi hanya dijadikan sebagai
kegiatan yang berdiri sendiri, ekslusif, dan paripurna, bahkan terlebih lagi
ajang justifikasi benar-salah atas fasilitasi penggiat pemberdayaan, maka
evaluasi menjadi sia-sia dilakukan. Yang lebih penting setelah melaksanakan
evaluasi adalah menjawab pertanyaan: what next?. Apa yang kemudian dilakukan
setelah evaluasi diadakan? Evaluasi bukanlah sebuah pencapaian akhir sebuah
kegiatan, melainkan sebuah proses. Evaluasi menjadikan sebuah kegiatan bergerak
maju; katakanlah ikuti irama tesis-antitesis-sintesis.
Pada
aras ini, sekali lagi evaluasi menjadi mutlak perlu. Evaluasi tak berarti
merupakan potret pelaksanaan program yang tak baik atau tak on the track, melainkan merupakan napas
pemberdayaan.•fgs
Tidak ada komentar:
Posting Komentar