Sabtu, 10 September 2022

Resensi: Lebih Putih Dariku



Data Buku

Judul: Lebih Putih Dariku

Pengarang: Dido Michielsen

Penerjemah: Martha Dwi Susilowati

Penerbit: Marjin Kiri

Cetakan: I, Juni 2022

Ukuran: 14 × 20,3 cm

Tebal: vi + 288 hlm.

ISBN: 978-602-0788-32-6

 

 

PERJUANGAN perempuan. Itu tema besar di novel. Berlatar Hindia Belanda pertengahan abad ke-19 hingga awal abad ke-20.

 

Novel Lebih Putih Dariku terjemahan dari Lichter dan Ik. Membacanya segera mengingatkan pada narasi buku Reggie Baay, Nyai dan Pergundikan di Hindia Belanda. Sama-sama terjemahan. Judul aslinya De Njai: Het Concubinaat in Nederlands-Indië.

 

Piranti tokoh utama di novel. Dia perempuan. Ibunya pembatik keraton. Kepada Piranti, ibunya bercerita bahwa Pangeran Natakusuma, anak sultan, adalah bapak biologis Piranti. Namun, lelaki itu tak pernah mengakui ibu Piranti sebagai selir resmi. Akibatnya, Piranti berstatus anak di luar nikah. Dia menempati posisi sosial yang serbatanggung.

 

Pada usia belia, Piranti sudah merasai adanya jaring-jaring status dan kuasa yang membuat orang tersekat dalam batas-batas tertentu. Piranti kecil kerap menerima perlakuan tak adil hingga perundungan. Milik Piranti kerap dirampas oleh anak sebaya yang menduduki strata di atasnya.

 

Oh, perempuan itu korban. Dia ditimpa kekerasan dan ketakadilan bahkan sejak kandungan.

 

Lihat tokoh lain di bagian awal novel, Karsinah. Anak selir. Tujuh belas tahun umurnya. Disunting oleh pangeran dari Solo yang jauh lebih tua, buruk rupa, serta sudah punya tujuh istri dan 30 anak. Karsinah tak kuasa menolak. (Hlm. 41)

 

Pembaca lekas ingat Raden Ajeng Kartini. Dia lebih kurang hidup sezaman dengan latar waktu Karsinah dan Piranti. Sama-sama terbelenggu patriarki. Kartini melawan dan menyuarakan emansipasi lewat korespondensi.

 

Kekerasan dan ketakadilan memang tak selalu mudah dilawan secara terbuka. Ibu Piranti mengajarkan perlawanan semu. (Hlm. 22)

 

Perlawanan semu atau dalam istilah James C. Scott perlawanan sehari-hari memang kerap dipraktikkan oleh orang-orang yang kalah, yaitu orang-orang yang malah menuai risiko kelewat besar jika melakukan perlawanan terbuka. Maka, seperti kata Eric Hobsbawm, untuk mereka perlawanan dengan “mengikuti sistem … yang paling sedikit merugikan diri sendiri” dapat dilakukan.

 

Ada berbagai-bagai bentuk perlawanan sehari-hari. Misalnya: menjatuhkan nama baik, pergunjingan, pencurian kecil-kecilan, bermalas-malasan, pembangkangan pribadi, dan sebaginya.

 

Itu pula yang dilakukan oleh Piranti. Alih-alih diam menerima nasib, dia menolak tunduk dan bangkit melawan. Dari sebentuk perlawanan sehari-hari berubah menjadi perlawanan terbuka.

 

Mula-mula Piranti menolak perjodohan. Dia melihat bahwa hubungannya dengan Ponijo—Pangeran, kawan mainnya dalam menarikan Gatotkaca Gandrung—dapat menjadi strategi jitu.

 

Piranti secara sadar menggunakan tubuhnya sebagai alat perlawanan. Dia aktif merayu Ponijo. Namun menariknya, justru pada detik-detik yang genting, Piranti membatalkan persetubuhan dengan Ponijo.

 

Piranti serta merta menyadari bahwa Ponijo benar diinginkannya dalam ketubuhan, namun gagal dimauinya dalam ketercapaian perjuangan kelas. Keraton adalah simbol patriaki dan keterkungkungan. Ponijo adalah bagiannya. Sedangkan Piranti mau selainnya. Kebebasan. Kemerdekaan.

 

Piranti memilih kabur dari keraton dan menjadi nyai bagi Adriaan Rudolph Willem Gey van Pittius, seorang perwira Belanda. Menjadi nyai bukan tanpa tentangan. Galibnya warga keraton mencibir. Nyai bagi mereka adalah budak.

 

“Perempuan kere dan bodoh yang sama sekali tidak ada harganya,” komentar Karsinah, “jika tidak begitu mereka bakal kelaparan di desa atau kampung kumuhnya.” Hinaan Karsinah di novel itu menggambarkan persepsi keluarga keraton terhadap nyai.

 

Klop dengan tulisan Frances Gouda di Dutch Cultures Overseas. Menurutnya, priayi Jawa merendahkan gundik dengan sebutan perempuan hina, kotor, tak sesuai aturan kesopanan Jawa, digerakkan nafsu birahi, tak bermoral, pelacur, menjual kehormatan demi kekayaan, dan lain-lain.

 

Kolonial sama belaka. Pergundikan dan pelacuran dianggap sejenis. Tak lebih dari relasi seksual yang secara ekonomis memang jauh lebih murah daripada mendatangkan istri atau perempuan Eropa. Ia juga lebih aman dari penyakit seksual daripada harus melampiaskan nafsu di pelacuran.

 

Di masyarakat umum malah ada standar ganda. Satu sisi mencemooh dan sulit menerima. Terutama berkaitan dengan perilaku serong, melahirkan anak haram, dan hubungan seksual dengan orang kafir. Sisi lain, ayah, saudara lelaki, atau suami terang-terangan menjual anak perempuan, saudara perempuan, atau istri demi sejumlah uang atau seekor kerbau.

 

Ya, persis. Menjadi nyai biasanya memang tersebab ekonomi. Reggie Baay dalam Nyai dan Pergundikan di Hindia Belanda memvalidasi itu. (Hlm. 49-52)

 

Namun, Piranti berbeda. Dia menjadi nyai karena gandrung kemerdekaan.

 

Piranti kira dunia luar, orang asing, atau liyan adalah kebebasan, keterbukaan, dan keadaban. Bebas secara finansial. Terbuka secara akal. Beradab secara sosial. Di novel, realitas dunia kolonial—kecuali soal hubungan seksual—ternyata tak seperti angan naif Piranti. Bahkan tepat di langkah pertama Piranti keluar dari keraton.

 

Berkunjung ke rumah Gey, Piranti mesti duduk di bawah dan bersembah. Patriarkis dan rasis. Tak ubahnya kehidupan Piranti sebelumnya. Sayang, Piranti gagal cepat paham.

 

“Begini saja, aku panggil kamu Isah,” putus Gey. (Hlm. 83)

 

Sejak itu, Piranti tak ada. Hanya Isah.

 

Lelaki, kali ini mewujud Gey, memang senang menyematkan panggilan semaunya. Banyak di antaranya melecehkan martabat. Mina, Sarina, dan Kartina. Masing-masing panggilan gundik di tengah masyarakat Hindia Belanda, di dalam tangsi, dan di perkebunan Deli.

 

Nyai di tangsi disebut munci. Dia dianggap lebih rendah daripada nyai. Selain soal pangkat tuannya yang bintara dan tamtama, munci dipertukarkan lebih cepat daripada kuda patroli.

 

Reggie Baay mencatat bahwa ada banyak sebutan lain bagi nyai. Di antaranya: inlandsche huishoudster (pembantu rumah tangga pribumi), meubelaire (perabot), inventarrisstuk (barang inventaris), boek (buku), woordenboek (kamus), dan snaar/snoer (senar/dawai).

 

Nah, dalam dua-tiga pertemuan singkat, Gey “merenggut keperawanan Isah tanpa banyak basa-basi”. (Hlm. 88) Ia tertidur segera setelah orgasme. Nyai itu objek seksual?

 

Dari Lot, perempuan Indo istri kawan Gey, Isah mulai insaf bahwa nyai hanya pembantu yang merangkap teman tidur tuannya. Kepada Isah, Lot menyuruh mencari dukun agar Isah dipijat sedemikian rupa sehingga tak bisa hamil. (Hlm. 96-97)

 

Secara sambil lalu, novel memuat pula cerita kekerasan terhadap nyai. Nyai Murtijah, contohnya. Seorang munci. Ketika dia hamil, tuannya memukuli dan menendang perutnya hingga pendarahan. Pada akhirnya, dia diberikan kepada orang lain saat tuannya dipidahtugaskan. (Hlm. 120-121)

 

Lagi, Giyem. Saat 12 tahun dijual oleh orang tuanya untuk menjadi nyai. Dia ditukar dengan kerbau. (Hlm. 129-130)

 

Berikutnya, Nyoman. Dia dijadikan taruhan bermain kartu oleh tuannya dan diperkosa oleh semua lelaki yang hadir di meja judi. (Hlm. 131)

 

Fiktif? Koran sezaman banyak memuat berita tentang kekerasan yang dilakukan oleh orang Belanda terhadap nyainya. Bataviaasch Nieuwsblad edisi 9 Maret 1898, misalnya.

 

Di novel, kekerasan yang diterima oleh Isah masih berlanjut. Dia dipindahtangankan kepada teman tuannya. Dipisahkan dari anak-anak perempuannya. Isah menderita hingga tutup usia. Duh, perempuan. Mereka hampir selalu berada dalam posisi rentan dan termarjinalkan. Mereka korban!

 

Di kenyataan, kekerasan berbasis gender terhadap perempuan (KBGTP) masih ada. Berdasarkan Catatan Tahunan Komnas Perempuan Tahun 2022, KBGTP sepanjang 2021 sebanyak 338.496 kasus. Meningkat tajam sebanyak 50% kasus dibandingkan dengan tahun sebelumnya.

 

Kasus yang paling menonjol ada di ranah personal, seperti perkosaan, kekerasan seksual dalam perkawinan, dan pelecehan seksual. Berikutnya kekerasan di ranah publik/komunitas, misalnya kekerasan di tempat tinggal, di tempat umum, di tempat kerja, di tempat pendidikan, dan di ranah siber. Wilayah tempat tinggal menjadi tempat yang tak aman dari kekerasan. Bahkan, tempat yang dianggap paling aman, institusi pendidikan, ternyata sama tak amannya bagi korban.

 

Ah, kita belum bicara soal perkawinan anak, pemaksaan perkawinan, kehamilan tidak diinginkan (KTD), aborsi, dan Angka Kematian Ibu (AKB). Percayalah, banyak lagi lainnya.

 

Seratus delapan belas tahun setelah Kartini wafat, masih ada perempuan dipaksa kawin seperti Kartini. Seratus delapan belas tahun setelah Kartini wafat, masih ada perempuan mati seperti Kartini. Pada pokoknya, perlindungan terhadap kekerasan dan ketakadilan berbasis gender masih perlu diperjuangkan. Kira-kira begitu•fgs


2 komentar:

  1. Senang membaca resensimu. Kamu menggambarkan dengan tepat alasan saya memilih untuk menerjemahan buku ini. Salam kenal.

    Martha

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih telah menerjemahkan novel tersebut. Sebelumnya, saya juga membaca terjemahan buku Roanne van Voorst, "Tempat Terbaik di Dunia". Keduanya terjemahan yang baik.

      Terima kasih telah membaca resensi ini dan memberi komentar. Salam kenal. Sukses dan sehat selalu.

      Hapus